Sudah Diakah Su’adah[1]
By: Muhammad Alfithrah Al-kindariy[2]
Dari kejauhan ujung jalan raya, terlihat bayangan sosok pemuda yang berjalan penuh rasa riang dan semangat, begitu bahagianya sampai terpancarkan senyuman dalam percikan cahaya lampu jalan yang dilewatinya. Keremangan yang sedikit menguning itu memberikan syahdu yang berbeda sore itu. Ada sedikit tawa ringan terdengar dari bayangan pemuda itu. Tawa canda yang agak romantis, begitu indah kata-kata lirihnya saat kumendengar sedikit syair-syair cinta yang melocat dari bibirnya, pemuda itu mulai mengarah cepat ke arahku, ternyata aku tidak mengenalnya sama sekali, dengan sedikit senyuman dia bertanya.
“Bisa pinjam pulpennya mas?” tangannya masih memegang telepon genggam, ternyata dari kejauhan tadi dia lagi nelpon seseorang, aku gak tau siapa seseorang yang bisa membuat pria itu menjadi bahagia seperti itu, aku berfikir sejenak, apakah seorang itu malaikat ataukah bidadari yang dititipkan pada pria ini, lamunanku pun melayang kemana-mana.
“Mas…Mas”, eh maaf mas, ini pulpennya, lamunankupun buyar seketika itu juga.
“Mas geser sedikit dong…!”, dengan tanpa ada rasa curiga sedikitpun dia kemudian mengambil posisi duduk tepat di sebelahku, ya soalnya hanya ada satu bangku kecil di sana, hanya cukup untuk dua orang,
“Emmmh… mas jam berapa ya sekarang?” Tanyaku sdikit berbisik pada pria itu, tapi dia sama sekali tidak menghiraukan pertanyaanku, tak ada gubrisan[3] sedikitpun, dia tetap fukus dan serius mendengarkan kata demi kata yang keluar dari sound HPnya, aku jadi penasaran apa sih yang didengar dan ditulisnya, gejolak ini makin menggebu untuk ingin mengetahui tulisan apa yang ia ukir di atas kertas kusut yang diambil dari dalam saku celana jeansnya saat kerutan keningnya makin ikut mengerut serius saat itu, sepertinya kabar yang sangat berharga, bak menemukan alamat harta karun dari dasar bumi, atau kabar datangnya bidadari dari langit, ah lamunanku keterlaluan ya…, bisik hatiku pelan sambil menggeleng-geleng kecil. Aku yang duduk di sampingnya terus menyimpan ribuan tanda tanya padanya, sesekali mataku melirik ke arah kertas itu, baru ada lima baris yang ditulisnya, kurang jelas untuk di baca dari arah samping, tulisannya berantakan, entah ia hendak melanjutkan tulisannya atau tidak, ia berhenti sejenak, tangannya begitu erat menggenggam penaku itu dan tiba-tiba makin berubah erat dari sebelumya, kok tak seperti genggaman para penulis biasa sih, kaya megang pisau aja?, aneh kurasa.
“Makasih ya Mas….”, teriaknya sambil melemparkan pena dengan pelan ke arah tas dalam pangkuanku dan bergegas lari tergesa-gesa ke arah awal dia kesini tadi, aku lebih baik diam kalau begini. Aku tak tahu apa yang dikehendaki oleh Allah olehnya, sebegitu bencikah Allah dengannya atau denganku, atau justru sebaliknya menjadi kasih sayang yang belum melintas di benak kami, pria yang awalnya kulihat bayak menaburkan rasa riang dan penuh benih cinta dengan lawan bicaranya di HP tadi tiba-tiba susah dan sedih dalam sekejap angin lalu dan meninggalkanku sendirian di bangku kayu itu bersamaan dengan berkumandangnya Adzan Maghrib dari menara-menara masjid dan menggema di semua petala langit desa Keputih, begitu cepat pertemuan itu, tapi mengapa harus adzan maghrib yang memisahkan kita, kok bukan hujan, atau gempa bumi saja, bisiku sedikit mengerutkan dahi. Aku yang masih terdiam, hanya bisa merenung mengharap ada jawaban Allah saat itu, jawaban dengan beribu hikmah dalam kebingunagan yang sulit untuk menjadi bahan berfikirku. Pandanganku masih mengikuti arah pemuda itu, makin jauh, terus ke ujung jalan dan sedikit demi sedikit menghilang di telan bumi, rasanya tak ada gunanya memaggilnya untuk kembali lagi, apalagi Cuma sekedar Tanya nama atau menanyakan apa yang terjadi dengannya, bagaimana tidak pertanyaanku saat dia dekat di sampingku tadi saja tidak digubrisnya apalagi ketika jauh seperti itu. Ya Allah apa maksud semua ini Ya Allah…? Mudahkanlah hamba untuk mencari hikmah di balik semua ini.
Wah kayaknya sudah pukul 18.00 nih atau paling tidak lebih sedikit lah, tegasku menjawab pertanyaanku yang sempat tidak terjawabkan oleh pemuda tadi itu, paling tidak kan Allah yang memberi Jawabannya lewat lantunan Adzan Magrib yang indah ini, mega merah yang mulai tenggelam hitam sepertinya ingin mengajakku melangkah ke masjid, dan dengan langkah yang masih mengharapkan Ridho Ilahi Rabbi, ku hampiri Rumah Allah dengan rasa yang sulit aku ugkapkan saat ini, tak ada langkah yang ku lewati kecuali hentakan dzikir yang senada dengan detak jantung ini, “Allah…Allah…Allah…”, hampir sampai di depan masjid, masih sejalur dengan jejak yang dilalui pemuda misterius itu, kutemukan sampah serpihan kertas yang berserakan di depan gerbang masjid, kok gak ada yang bershikan sih? Tanyaku sedikit geremeng[4], tanpa banyak berfikir akupun langsung mengambilnya dengan niat untuk membersihkan sampah-sampah itu Lilahi Ta’ala, kertas yang telah disobek-sobek menjadi lima bagian, kaya orang gak ada kerjaan saja. Akupun mencari-cari tampat sampah yang ada disekitar itu. Tak satupun tempat sampah yang kutemukan di gerbang depan masjid Al-Kautsar itu.
“Allahu Akbar….Allahu Akbar…. Asyhadu Anlla ilaha illalllah…” belum sempat aku membuang sampah itu, Iqomah mulai berdengung cepat, menandakan Sholat akan segera dimulai, terpaksa sampah-sampah itu ku masukkan dalam saku kemejaku lalu bergegas mengambil air wudhu. Bertemu air wudhu’ rasanya suatu kesegaran tersendiri bagiku, bukan hanya segar di kulit, sejuk juga terasa di hati ini, semoga dosa-dosa anggota wudluku terhapus lewat aliran air yang menyimpan seribu makna ini. ketinggalan satu rakaat bagiku gak masalah, mendingan jadi makmum masbuk[5] dari pada munfarid[6] , Sholat jamaah bagiku adalah yang terpenting, banyak faedah yang kudapatkan di sana walaupun harus berada di sahaf akhir dan tidak mendapatkan faedahnya Shaf awal. Surat Al-Ikhlash usai di baca oleh imam, terus ruku’, begitu serentak para jama’ah mengikuti imamnya, sangat rapi kelihatannya, kemudian semuanya sujud. Aku merasakan ada yang beda di sana, saat manusia kelihatan di bawah, kekhusu’an yang menghawakan udara masjid membuatku merinding, apa karena posisiku yang masih berdiri dan merasa tinggi dari mereka yang sujud?. Asstaghfirullah betapa sombongnya diriku jika bisikan alam dan hawa ‘isya’aini ini mengatakan iya pada makhluk yang lainnya. Lalu mereka bangkit dari sujud dan imam pun memulai bacaan Fatihahnya dengan fasih[7] di rakaat yang kedua, Akupun masuk di tengah-tengah shaf kosong dan aku sadar bahwa saat ini, mereka berdri sepertiku, kalau saat orang beribadah pada-Nya semua sama, tak ada yang berbeda, siapapun dia, semua sama di hadapan Allah.
“Allahu Akbar…” kumulai takbirku dengan sekuat mungkin berusaha untuk khusu’ dan Khudu’,
“Ghoiril Maghdluubi ‘Alihim Waladl-Dlooliin…” Indah, imam mengakhiri fatihahnya dengan nada sedikit panjang dan bergelombang.
“ Aaamiin….” Serentak para makmum menyahut juga menggetarkan masjid dan sudah kebiasaanku, akupun tak lupa menyelipkan doa sebelum jawaban Fatihah itu. Doa agar bertemu dengan jodoh yang telah lama Allah rahasiakan padaku, wanita yang mencintaiku karena mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Surat An-Nas kemudian dibaca oleh imam, akupun mendengarkannya dengan seksama, sesekali kuterjemahkan ayat demi ayat yang bagiku sangat lebih dari sekedar puitis itu. Ini adalah firman Allah yang megingatkanku agar tidak terjebak oleh rayuan setan dan membuat aku was-was dalam sholat, tapi kenapa semakin aku berpikir untuk husnudzan[8] , semakin membuatku was-was dalam sholat, kucoba, lagi dan terus kocoba hingga Ruku’pun menunduk. Dan ternyata tak kusadari dalam ruku’ku itu tiba-tiba dua recehan coin Rp 500,- bersama serpihan-serpihan sampah kertas tadi jatuh ke lantai, dan gemercingnya pun memecah usaha dalam khusu’ku sejak awal sholat tadi. Apa ini benar-benar balasan dari Su’udzanku[9] pada ayat-ayat Allah dalam Sulat An-Nas tadi atau mugkin Allah memiliki jawaban yang lain dari ini? Tanyaku dalam hati.
Tanpa segaja aku melihat serpihan kertas yang kupungut di depan masjid tadi, ada tulisan tergores di sana. Ku coba untuk tidak membacanya, khawatir menggagu sholatku. “Rasaya aku pernah melihat tulisan ini”, tanyaku penasaran dalam hati, “tapi dimana ya…?” Otakku berusaha beradu dalam hati lagi, gerak demi gerak dalam sholat terus berlangsung, hingga aku menyempurnkan satu rakaat masbukku tadi. Sholat tanpa imam dan ditambah adaya penasaran yang mendalam tentang kertas dan tulisan ini membuat aku sedikit mempercepat gerak sholatku. Tak terhindarkan lagi bujukan setan di otak ini, dan tak terarahkan lagi zaugh dalam hati ini. Sabarku mulai ciut karenanya. Dan ku akhiri sholatku dengan salam, Aku yakin hanya Allah yang bisa membalas burukya ibadahku pada-Nya.
Sebagian Jama’ah lain telah selesai sholat sunnah Ba’diyyah[10] dan satu persatu mulai meinggalkan masjid, aku yang sejak tadi terus memaksa berfkir tentang kehendak Allah ini, langsung megambil kertas dan koin tadi. Bergegas keluar masjid dan duduk di serambi masjid. Ku susun potongan kertas yang seharusnya aku buang itu, seperti main puzzle[11] aja, dan ternyata benar dugaanku waktu sholat tadi. Kalau tulisan itu pernah aku lihat sebelumnya, ternyata tulisan lima baris yang berantakan itu. Semakin gak jelas dengan kusutnya kertas itu. “ Masya Allah inikan tulisan pemuda aneh sore tadi. Akupun menyambung-nyambung Kertas itu, agar tulisannya dapat dibaca, ternyata ada tambahan di bawahnnya,
Aku tambah bertanya-tanya apa maksud semua tulisan ini, kenapa semakin Allah menjawab pertayaan hatiku, semakin bertambah pertanyaan di hati ini?, gelisah dan bingung menggerogoti jiwaku. Aku heran kenapa pemuda itu membuang dan menyobek-nyobek kertas ini, dan kenapa juga dia lari tergesa-gesa setelah menulis itu. Ya Allah berilah petunjuk-Mu ya Allah.
Aku yang sedikit kewalahan sempat berbaring sejenak di serambi masjid, sambil menunggu masuknya Waktu Isya’. Dalam tidurku yang sebentar, aku sempat bermimpi, bertemu dengan seorang wanita yang begitu anggun dengan pakaian pink muslimahnya, dia tersenyum padaku dan hendak bersalaman, namun belum sempat ia bersalaman denganku, dentuman bedug membuyarkan lelap mimpiku, aku langsung kaget dan terbangun. Melihat-lihat sekitar berharap bukan sebuah mimpi, tapi tak seorangpun yang berkerudung pink di sana. Ah inikah bisikan-MU Ya Allah. Berkumandanglah Adzan Isya’ di corong-corong masjid Al-kaustar. Aku Wudhu dan kembali menunaikan Sholat Maktubah[12], kali ini utuh, bukan masbuk lagi. Alhamdulillah, Getirku makin yakin.
Usai sholat aku bertanya pada seorang jama’ah, tentang tulisan terakhir kertas tadi. Dia pun memperlihatkan tulisan itu “Warung Es Pisang Ijo Marina Plaza”,
“ Ooo… itu di jalan Ahmad Yani Mas, tepat di belakang Giant Mall Surabaya, di sana ada Plaza Marina”, jawab bapak sepuh yang sekaligus menjadi takmir masjid itu,
“ Terus Warung Es pisang Ijonya?”, tanyaku kurang puas,
“ Kalau warung itu biasanya banyak berjejer tepat di sekitar Plaza itu.
“ Ooo… makasih ya pak”, balasku sedikit lega.
***
Pagi hari di Ahmad yani, aku makin penasaran dengan dengan sumber kata-kata ini, siapakah dia yang membuat pria misteri itu menjadi putus asa, tepat pukul delapan pagi, aku berdiri di depan Marina Plaza, ternyata masih sepi pengunjung di plaza itu, kayaknya baru buka setengah jam lagi, lalu lalang kendaraan membuatku harus memilih diantara ribuan pengendara, adakah dia diantara mereka, selang beberapa menit ada gerobak Es yang lewat depan Plaza, aku yang mulai haus dalam kerongkongan langsung menghampirinya.
“ Pak esnya pak..!” teriakku sambil melambaikan tangan.
Sejenak gerobak itu berhenti dan menunjuk ke arah dua pohon palm yang sangat besar, sepertinya dia menyuruhku ke sana, bapak itu pun terus mendorong gerobaknya ke arah pohon palm itu. Sepertinya dia sudah biasa membuka warung di bawah pohon itu,
“Mau minum es ya mas?” Tanya bapak itu menawarkan sambil memarkir grobaknya tepat diantara dua palm itu.
“Iya pak, emang ada es apa aja pak, kok gak ada tulisannya di gerobak bapak…?” balasku heran sedikit santai.
“Ya belum ada lah mas, sa belum pasang pi juga kain ma tendanya[13]” jawabnya kental dengan logat makassarnya,
“ lho...kita orang makassar ta pak…?[14] Tanyaku imbangi logat makassarnya.
“ Iyo to…, kan sa jual Es pisang Ijo, Makanan Khasnya ji Makassar di sini, saya Asli makassar toh.[15]” Senyumnya menyebar.
“Sama ji pak, kalau saya dari kendari ji juga pak…,dekatnya makassar ji, kasi satu es pisang ijonya ta pak…![16]”
“ Ooo pantasan ko bisa juga pake bahasa Makassar, ternyata kita orang sana ji juga dih, ini esnya mas[17]”
“ Makasih pak,”
Belum lama aku menyicipi es itu tiba-tiba, ada seorang wanita dengan sepeda motor kawasakinya berhenti tepat di depan warung es itu, aku makin heran dengan gerak-geriknya yang agak gelisah, sepertinya dia menunggu seseorang di sana.
“Neng…hari ini mau bungkus es berapa nih…?” Tanya bapak itu, dengan sedikit seyuman paginya. Sepertinya dia sudah menjadi pelanggan tetapnya di sini.
“ Dua aja ya pak, yang satu gak pake es !” suaranya merdu, menusuk ke dalam hati ini.
“ Pak kok tak di suruh masuk sih, kan kasihan kepanasan nanti dia di luar ?”, tanyaku sedikit berharap.
“ Ooo neng itu to… biasa ji da tunggu temannya di situ[18], trus…dia jarang mau juga masuk ke sini”
“ Neng ini esnya,”
“ Makasih ya pak, ini uangnya, O ya pak, gak lihat temanku datang ke sini ya…?” Tanya gadis itu sangat menanti.
“ Dari tadi temannya neng yang biasa ke sini tu belum datang, sejak aku buka warung, baru ada satu pembeli tuh di dalam, tapi kayaknya bukan temannya neng deh”.
“ O gitu ya…,” jawabnya halus sambil melihat jam tangan di lengannya.
“ Ya udah pak aku tunggu di dalam aja, boleh ya pak ?!”
“ Ya boleh lah neng, monggo neng…!” kata pak tua, nadanya guyon.
“ Makasih pak…”
Ada yang berbeda terasa dalam diriku, rasanya kepala ini tersiram air hujan, sejuk dalam detakan jantung yang makin tak teratur. Ada apa dengan diriku?. Apakah ini jawaban dari Allah. “Sudahlah mendingan aku menunggu orang yang aku cari dari tadi”. Bisikku tegar.
“ Berapa mi ini esnya pak?[19]”
“ Biasa… Rp.5000 ji[20], special buat orang kendari” jawabnya sedikit guyon.
“ O… Iya pak warung Es pisang ijo yang di depan Marina Plaza itu mana ya pak…kok dari tadi gak buka sih? Tanyaku penasaran.
“ Warung Es Pisang Ijo yang di depan Plaza itu ya ini mas, kalau yang itu warung es kacang ijo, hanya saja tulisan ‘kacang’nya sudah pudar, itu bukanya jam sepuluh”. Terang pak tua padaku.
“ O… jadi warung yang aku cari dari tadi ini ya pak…? Terkejut, mulai susah pakai logat makassarnya.
“Masya Allah, Apa….?” Ah masa dia sich, aku kemudian melirik wanita yang sejak tadi menunggu temanya itu. Dia sedang menulis sesuatu. Entah apa yang ditulisnya di balik buku La-Tahzannya, serius banget.
Aku semakin yakin kalau dialah wanita yang aku cari selama ini. Aku lalu bertanya sedikit pada bapak tua itu, “ Pak kenal wanita itu gak?”, lirih dalam bisikan.
“ Ya iya lah, dia itu putrinya Kiyai Ma’sum desa sebrang sana, dia tuh baik mas, sering membantu pedagang disekitar sini”, jawab bapak itu sambil mengelap gerobak Esnya yang sedikit bedebu. Aku langsung tercengang minta ampun, rasanya hati ini di siram air esnya pak tua. “Huuf…”, hembusanku laga. Berikan Hamba kekuatan Ya Allah.
“Bismillahirahmanirrahim”, ku telan air ludahku, sedikit gugup.
“ Permisi Mbak, Bbboleh pinjam Pena gak…?” grogi berat menyelimutiku.
“ O iya boleh kok, silahkan…!, dia mempersilahkan mengabil penanya di atas meja, merdu suaranya mebuatku makin salah tigkah. aku kemudian mengeluarkan serpihan kertas yang masih ada dalam saku kemeja biruku ini, ku satukan kertas itu seperti main puzzle di masjid tadi malam, kemudian ku tulis ulang kata-katanya. Berharab agar tidak mudah hilang dan mudah di baca pemliknya kelak.
“ Tulis apa mas, kok kertasya di sobek-sobek…?” tanyanya heran.
“ Ah… biasa mbak, eh maksud saya ‘neng’, ini lagi nyari seseorang dari tulisan ini,”
“ Eh… kok dipanggil neng sih”, sanggahnya sedikit menolak.
“ Ya soalnya pak tua manggilnya gitu”, jawabku beralasan juga. Sambil menulis tulisan itu lebih diperbesar.
“ Huff…, kamu nulis apa sih, serius amat?” tanyanya cemberut tipis.
“ Entar ya neng makanya aku tulis ulang, biar orang lain bisa baca, soalnya yang pertama nulis ini orang lain yang kayaknya lagi stress”. Setelah menulis ini kemudian aku menyuruh gadis itu untuk membacanya, hatiku berharab dialah orangnya.
“ Ni mbak kalau mau baca, tapi jangan ditanya maksudnya ya, soalnya ku juga belum bisa memahaminya” tawarku, sambil mengebalikan penanya.
Belum lama dia membaca tulisan itu, dia kemudian merampas kertas kusut yang telah di sobek-sobek itu. Hampir saja aku membuangnya.
“ Sekarang mas Ukaza Muhammad di mana mas….?” Tanyanya berharap penuh,
“ O… jadi sampean paham dengan tulisan ini, siapa namaya tadi?”
“ Namanya mas Ukaza Muhammad, iya aku yang baca tulisan ini di telepon, aku tidak sadar kalau dia sampai menulisnya”, jawabnya dengan tetesan air mata di pipinya.
“ Udah neng, sekarang aku ingin sampean mejelaskan meksud lima poin itu! Kok sampai membuat Ukaza Muhammad harus menerima fakta yang menikam dari sampean”
“ Lima poin itu adalah Kriteria calon suamiku kelak. Itu yang selalu aku panjatkan pada Allah setiap sepertiga malamku”, jawabnya makin tegar, sambil mehapus air matanya dengan sisa tissuenya.
“ Jadi dia bukan plilihan hati sampean neng…?” tanyaku berharab ada jawaban Allah dari suara merdunya.
“ Bukan, dia putra kiyai dari Mojokerto. Dan saat ini sedang kuliyah di IAIN Sunan Ampel.
“ O… itu toh jawabannya, sekarang aku sudah tau kenapa Ukaza menjadi sedih kemarin sore”, Jawabku sambil melihat pak tua yang sedang mengacungkan jempolnya padaku, apa maksudnya? Desisku dalam hati.
“ Ehm…ehm… warung Esku ni mau dijadikan Forum diskusi ta…. jangan lama na…?” sentak pak tua, dengan canda logat makassarnya.
“ Hahahaha…”, aku tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Neng hanya terdiam dalam senyum manisnya.
“ O ya neng, boleh minta nomor Hp-nya gak?
“ Boleh, tapi kalau boleh tau namamu siapa ya, dan asal mana kok lancar bahasa makassarnya, ?, tanyanya penasaran.
“ Namaku Muhammad Farrach, yang jelas aku orang jauh kok, lebih jauh dari asal pak tua itu”. Jawabku rileks sambil melirik pak tua yang tersenyum setuju.
“ O… ya udah kita kenalan via Hp aja ya, gak enak ma pak tua, kasihan, entar gak ada yang beli lagi kalau kita duduk di sini lama-lama, hehehee…, ni Nomorku, di simpan ya, ku tunggu telponya malam ini”
“ Alaaah neng ini, bapak cuman bercanda neng, justru adanya pean disini bisa buat warungku laris manis”,
“ hahahaha” serentak kami larut dalam tawa dan senyuman.
“ Ya udah salam kenal dariku ya”.pesannya penuh makna dan amanah, ia mulai mengendarai sepeda motornya.
“ Sama-sama neng, O ya Neng namanya siapa…?” teriakku lantang, hampir lupa nanya nama.
“ Syauqiyatus Su’adah”. Teriaknya menjawab, dari balik helm pinknya.
***
Begitulah kisah pencarian dan penantian cinta meraka, singkat cerita, tiga tahun setelah ta’arufannya, Su’adah yang baru menyelesaikannya S.1 nya bersamaan dengan tuntasnya tesis S.2 Farrah mereka pun menjawab kehendak Allah untuk sempurakan sepertiga Agamanya bersama-sama. [al]
[1] Ditulis dalam kutipan doa dan hikmah dari secuil kisah penulis pada sepertiga malam saat debu vulkanik Merapi menemani.
[2] Mantan Pemred dan Penulis Buletin Al-Qolbi LPBA Sukorejo Situbondo Jatim (08’-09’)
[3] Respon atau Menghiraukan
[4] (Jawa) suara yang kurang jelas bunyinya.
[5] Jamaah yang tidak nututi rakaat pertamanya imam dalam sholat berjama’ah
[6] Orang yang yang sholat sendirian
[8] Berbaik sangka
[9] Berburuk sangka
[10] Sholat sunnah setelah sholat fardhu lima waktu
[12] Sholat Fardhu yang lima waktu
[13] Ya saya kan belum memasang kain den tendanya mas
[14] Lho anda orang makassar ya…?
[15] Ya iya lah, saya kan jual es pisang ijo makanan khas Makassar di sini, ya saya asli Makassar lah.
[16] Sama juga pak, kalau aku dari kendarinya, dekat dengan Makassar kan , minta es pisang ijonya sata pak!
[17] Ooo pantas kau bisa berbahasa Makassar, ternyata kamu orang sana juga ya, ini esnya mas.
[18] Ooo… neng itu ya, dia biasa nunggu temannya di situ.
[19] Berapa harganya pak…?
[20] Biasa Rp.5000,- aja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar