Jumat, 17 Desember 2010

ANALISA KEBIJAKAN PENDIDIKAN

A K R E D I T A S I :
ANTARA ANCAMAN DAN ANJURAN BAGI LEMBAGA PENDIDIKAN
(Anlisa Peningkatan Mutu dan Kualitas Pendidikan Madrasah)

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I


A. Pendahuluan
Sebagai salah satu pranata sosial yang sangat penting, pendidikan telah berupaya mencerdaskan bangsa guna maraih kehidupan masyarakat yang maju, demokratis, mandiri dan sejahtera. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Pembaharuan pendidikan dilakukan terus-menerus agar mampu menghadapi berbagai tantangan sesuai dengan perkembangan zamannya. Pada era reformasi dan demokrasi pendidikan ini, tantangan yang dihadapi oleh system pendidikan nasional kita adalah terkait dengan pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan.
Penyelenggaraan akreditasi sebagai salah satu kegiatan peningkatan mutu di bidang pendidikan, pada hakikatnya adalah agar penyelanggaraan pendidikan dapat mencapai standar kualitas yang ditetapkan dan pada gilirannya peserta didik dapat mencapai keberhasilan baik dalam penguasaan ilmu, keterampilan maupun dalam pembentukan keperibadian. Disamping itu penyelenggaraan akreditasi diupayakan sesui dengan paradigma baru dalam penyelenggaraan akreditasi sekolah dan madrasah, di antaranya adalah tidak lagi membedakan antara lembaga negeri dengan swasta, serta mendayagunakan keterlibatan masyarakat dengan menjunjung prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dituntut untuk selalu berupaya meningkatkan kualitas dalam penyelenggaraan pendidikan, hingga dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas, mampu bersaing serta mampu menghadapi tantangan zaman. Oelh karena itu penyelenggaraan akreditasi madrasah, sebagai upaya pengendalian mutu, baik melalui sistem penilaian hasil belajar, penerapan kurikulum, sarana, tenaga kependidikan terutama bagi pengaturan sistem belajar mengajar.
Seiring dengan sarana peningkatan mutu ini (akreditasi), sistem pendidikan (dalam hal ini pelaksana akreditasi) seharusnya — bisa dikatakan— menjadi “dewan juri” yang konstruktif bagi para peserta (sekolah/madrasah) dalam ajang kompetensi akreditasi ini, namun bagaimanakah hasilnya selama ini? Apakah mutu pendidikan bisa dijamin dengan suksesnya proses akreditasi saja? atau justru akreditasi masih perlu diakreditasi terlebih dahulu agar mendapat perhatian yang serius dari lausnya masalah-masalah pendidikan negeri ini, sehingga tidak menjadi bumerang bagi ketidak kredibel-an dan ketidak komperhensif-an sistem akreditasi itu sendiri. Disamping itu apakah akreditasi hanya menjadi informasi di atas kertas cantik yang tidak bersesuaian dengan kondisi obyaktif lapangan? Atau kemungkinan lain adalah akan terjadi daya saing antara lembaga pendidikan dalam memajukan mutu lembaganya masing-masing (seirama dengan mutu pendidikan), transparansi mutu dan kualitas sebuah lembaga pendidikan akan “terukir terang” dalam berbagai simbolik nilai hasil penilaian akreditasi yang kemudian menyertai nama lembaga pendidikan tersebut bahkan akan ditulis besar di papan nama sekolah, tentu hal yang sangat konstruktif sekali jika persaingan kompetensi yang transparansi ini (baca: akreditasi) menjadi anjuran bagi lembaga pendidikan, namun tidak menutup kemungkinan juga mejadi ancaman bagi sebagian lembaga pendidikan yang skornya masih rendah dan (bisa saja) masih terpaksa menuliskan nilainya di sebelah nama sekolahnya itu, lantas akan adakah pertimbangan lain dari Lembaga Pendidikan yang sedang “haus” akan pengembangan pendidikan namun masih “kering” Kuantitas dan berpotensi tinggi kualitasnya?

B. Pengertian Akreditasi Madrasah/Sekolah
Undang-undang sistem pendidikan nasional No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diriya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Akreditasi didefinisikan sebagai suatu proses penilaian kualitas dengan menggunakan kriteria baku mutu yang ditetapkan dan bersifat terbuka.
Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian (asesmen) sekolah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentukan kelayakan dan kinerja sekolah.
Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 29 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Sekolah / Madrasah menyebutkan bahwa yang dimaksud Akreditasi Sekolah / Madrasah adalah suatu kegiatan penilaian kelayakan suatu Sekolah / Madrasah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh BAN-S/M yang hasilnya diwujudkan dalam bentuk pengakuan peringkat kelayakan.
Dalam melaksanakan akreditasi, BAN-S/M dibantu oleh Badan Akreditasi Propinsi yang dibentuk oleh Gubernur. BAN-S/M melaksanakan akreditasi terhadap program dan / atau satuan pendidikan jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Pengertian lain mengenai akreditasi adalah sebuah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan / atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Di dalam proses akreditasi, sebuah sekolah dievaluasi dalam kaitannya dengan arah dan tujuannya, serta didasarkan kepada keseluruhan kondisi sekolah sebagai institusi belajar. Akreditasi merupakan alat regulasi (self-regulated) agar sekolah mengenal kekuatan dan kelemahan serta melakukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kekuatan dan memperbaiki kelemahannya.
Dalam konteks akreditasi madrasah, dapat diberikan pengertian sebagai suatu proses penilaian kualitas madrasah, baik madrasah negeri maupun madrasah swasta dengan menggunakan kriteria baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga akreditasi.

C. Landasan Hukum Akreditasi
Bagian penting dari terwujudnya standar nasional pendidikan maka pemerintah melakukan akreditasi pada lembaga pendidikan yang dalam pembahasan ini diarahkan pada akreditasi sekolah dan madrasah.
Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab XVI pasal 60 tentang akreditasi dijelaskan bahwa :

1. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
2. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
3. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
4. Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Akreditasi madrasah/sekolah mengacu pada praturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab XIII tentang Akreditasi yang memuat pasal:
Pasal 86
1. Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pedidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan.
2. kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan akreditasi.
3. akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 sebagai bentuk akuntabilitas kepada publik dilakukan secara obyaktif, adil, transparan, dan komperhensif dengan menggunakan instrument dan criteria yang mengacu kepada standar pendidikan.
Pasal 87
1. Akreditasi oleh pemerintah sebagaimana di maksud dalam pasal 86 ayat 1 dilaksanakan oleh :
a. BAN-S/M terhadap program dan/atau satuan pendidikan, pendidikan jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
b. BAN-PT terhadap program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan tinggi; dan
c. BAN-PNF terhadap program dan/atau satuan pendidikan jalur nonformal.
2. Dalam melaksanakan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, BAN-S/M dibantu oleh badan akreditasi provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
3. Badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
4. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat mandiri.
5. Ketantuan mengenai badan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 88
1. Lembaga mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 ayat 2 dapat melakukan fungsinya setelah mendapat pengakuan dari Menteri.
2. Untuk memperoleh pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 lembaga mandiri wajib memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya:
a. berbadan hukum Indonesia yang bersifat nirbala.
b. Memiliki tenaga ahli yang berpengalaman di bidang evaluasi pendidika.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 diatur dengan peraturan pemerintah.

Sementara belum ada peraturan pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan akreditasi sekolah, Keputusan Mendiknas tentang akreditasi sekolah dan Kepmen No. 039/0/2003 tentang Badan Akreditasi Sekolah Nasional dapat merupakan panduan operasional pelaksanaan akreditasi sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003. Badan Akreditasi Sekolah Nasional kemudian menyusul berbagai panduan operasional yang isinya lebih rinci.

D. Fungsi dan Tujuan Akreditasi Madrasah
Akreditasi madrasah memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
1) Perlindungan Masyarakat (Qualitiy Assurance)
Maksudnya agar masyarakat memperoleh jaminan tentang kualitas pendidikan madrasah yang akan dipilihnya sehingga terhindar dari adanya praktik yang tidak bertanggung jawab.
2) Pengendalian Mutu (Qualitiy Control)
Maksudnya agar madrasah mengetahui akan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya sehingga dapat menyusun perencannaan pengembangan secara berkesinambungan.

3) Pengembangan Mutu (Qualitiy Improvment)
Maksudnya agar madrasah merasa terdorong dan terteantang untuk selalu mengembangkan dan mempertahankan kualitas serta berupaya mengupayakan dari berbaga kekurangan.
Semantara tujuan akreditasi madrasah adalah untuk memperoleh gambaran keadaan dan kinerja madrasah dan untuk menentukan tingkat kelayakan suatu madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan, sebagai dasar yang dapat digunakan sebagai alat pembinaan dan pengembangan, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di madrasah.

E. Persyaratan Madrasah yang diakreditasi
Untuk memperoleh pengakuan status dan tingkat kelayakan madrasah melalui akreditasi, sekurang-kurangnya satuan pendidikan madrasah harus telah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, yaitu;
1. Tersedianya komponen penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada satuan pendidikan, yaitu:
a. Kepala Madrasah
b. Pendidik dan tenaga kependidikan, terdiri dari sekurang-kurang seorang guru untuk setiap kelas bagi madrasah dan sekolah seorang guru untuk masing-masing mata pelajaran bagi MTs dan MA
c. Siswa, sekurang-kurangnya 10 orang setiap tingkatan
d. Kurikulum yang diterapkan
e. Ruang belajar
f. Buku pelajaran, peralatan dan media pendidikan yang diperlukan
g. Sumber dana tetap
2. Penyelenggara pendidikan, baik itu dari pemerintah maupun dari masyrakat. adapun penyelenggaraan pendidikan dari masyarakat. Harus berbentuk yayasan atau organisasi sosial yang berbadan hukum.
3. Telah memiliki piagam terdaftar atau izin operasional penyelenggaraan pendidikan madrasah dan sekolah dari instansi yang berwenang.
4. Madrasah Memiliki surat keputusan kelembagaan Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) sekolah.
Secara umum pedoman penilaian akreditasi itu meliputi aspek berikut: pertama, dari segi kelembagan meliputi organisasi, sarana dan prasarana, keuangan, dan tenaga pendidikan. Kedua, dari segi Akademik meliputi kurikulum, guru dan siswa, perpustakaan, dan penyelenggara.

F. Penilaian /Akreditasi Madrasah
Dari segi lingkup komponen madrasah yang dinilai dalam akreditasi, meliputi penilaian proses belajar mengajar, sumber daya, manejemen, kultur dan lingkungan madrasah. Adapun jabaran dari komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Proses Belajar Mengajar (PBM)
Pengajaran yang dilkukan oleh seorang guru dapat disebut efektif jika sebagian besar siswa menguasai sebagian besar dari materi yang diajarkan. Dalam hal ini, kegiatan pembimbingan akademis terhadap siswa sangat menentukan kemajuan belajar siswa. Oleh sebab itu, kegiatan akreditasi madrasah harus mencakup hal-hal yang berkenaan dengan proses belajar mengajar secara utuh. Dalam komponen proses belajar mengajar ini dijabarkan sub-sub komponen sebagai berikut:
a. Perencanaan
Perencanaan proses belajar mengajar yang dianggap sangat penting untuk dicermati dalam akreditasi madrasah meliputi:
1) Kesesuaian perencanaan proses belajar mengajar dengan visi dan misi madrasah.
2) Dokumen persiapan mengajar dan analisis materi pelajaran.
3) Penyiapan sumber belajar dan alat peraga.
b. Pelaksanaan program kulikuler
Pelaksanaan programkulikuler merupakan inti dari proses belajar mengajar yang harus diperhatikan dalam akreditasi madrasah, dalam hal ini meluputi:
1) Kegiatan siswa.
2) Kegiatan guru.
3) Interaksi belajar mengajar.
c. Pelaksanaan program ekstra kurikuler
Program ekstra kurikuler juga merupakan hal penting yang perlu diperhatikan karena merupakan kegiatan pendukung utama dalam proses belajar mengajar, dalam hal ini meliputi:
1) Kegiatan siswa.
2) Kegiatan guru.
3) Interaksi belajar mengajar.
d. Hasil
Hasil yang dimaksud disini adalah hasil (outcome) yang dicapai dari proses belajar mengajarang secara garis besar dapat menggambarkan mutu / kualitas dari suatu madrasah, baik itu rendah maupun tinggi. Hal ini meliputi:
1) Nilai ujian ahir nasional
2) Nilai ujian ahir madrasah
3) Prestsi non akademik
4) Sikap dan kepribadian siswa
5) Tinggal kelas
e. Dampak yang dicapai dari proses belajar mengajar.
Yang dimaksud dengan dampak disini adalah akibat yang dicapai dari proses belajar mengajar, diantaranya adalah:
1) Penerimaan siswa
2) Keterterimaan dijenjang pendidikan selanjutnya
3) Dropout (putus sekolah)

2. Sumber daya
Untuk mendukung tujuan pembelajaran agar efektif dan efisien, madrasah membutuhkan ssumber daya yang memadai komponen sumber daya ini kemudian dijabarkan menjadi sub-sub komponen sebagai berikut:
a. Sarana dan prasarana pendidikan
Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah berupa perlengkapan dan peralatan pendidikan yang dimiliki serta dimanfaatkan dalam mendukung proses belajar mengajar. Dalammhal ini meliputi:
1) Tanah dan gedung
2) Ruang (kelas, perpustakaan, laboratorium, dan ruang lainnya)
3) Peralatan (olah raga, alat peraga, komputer, dan sarana lainnya)
b. Sumber daya manusia
Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pendidik dan tenaga kependidikan dalam madrasah baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mencapai peningkatan mutu madrasah, khususnya kualitas lulusan. Dalam hal ini meliputi:
1) Kepala sekolah
2) Guru madrasah
3) Tenaga lainnya
c. Sumber daya keuangan
Sumber daya keuangan merupakan salah satu tulang punggung penyelenggaraan pendidikan madrasah. Secara khusus yang dicermati disini lebih pada sumber keuangan berasal, serta kreatifitas penggaliannya. Dalam hal ini meliputi:
1) Swadana
2) Pemerintah
3. Manajemen madrasah
Kemampuan kepala madrasah serta seluruh perangkat dalam menyusun perencanaan, mengkoordinasikan dan mengelola seluruh sumber daya yang tersedia, serta komitmen terhadap pencapaian visi dan misi madrasah, merupakan hal yang amat menentukan bagi keberhasilan dalam menjaga dan meningkatkan mutu madrasah. Hal yang sangat menentukan dalam penilaian adalah ada tidaknya praktek manajemen mutu terhadap seluruh sumber daya pendidikan di madrasah. Komponen manejemen ini kemudian dijabarkan menjadi sub-sub komponen sebagai berikut:
a. Manajemen sarana dan prasarana
Dalam konteks manajemen sarana dan prasarana yang perlu menjadi perhatian adalah sejauh mana seluruh perlengkapan dan peralatan madrasah berfungsi dengan baik serta telah melalui suatu perencanaan yang terprogram, aksesibilitas dalam proses belajar mengajar, serta administrasinya. Dalam hal ini meliputi:
1. Perencanaan (adanya tujuan, rencana jangka panjang, dan rencana tahunan).
2. Pemanfaatan (kelas, ruang guru, laboratorium, perpustakaan, sarana/alat).
3. Pengendalian (pemantauan penggunaan ruang, kebersihan, perbaikan, perawatan).
b. Manajemen sumber daya manusia
Dalam kontek manajemen, sumber daya manusia lebih dititik beratkan pada perencanaan rekrotmen, penempatan (match), aktimalisasi tugas dalam jangka waktu tertentu, serta administrasi sumber daya manusia warga sekolah/madrasah. Dalam hal ini meliputi:
1) Perencanaan SDM (tujuan dan rencana pengembangan, jamgka pendek dan jangka panjang)
2) Pengorganisasian SDM (penempatan, pengoptimalan tugas dan fungsi, pemerataan beban tugas)
3) Pengerahan SDM (pembinaan sistemik, mekanisme penghargaan dan sanksi, penegakan aturan)
4) Pengendalian SDM (panduan monitorin, rekomendasi, dan tindak lanjut)
5) Implementasi kebijakan (majelis madrasah, pemilihan kepala madrasah KKM dam lainnya)


c. Manajemen keuangan
Manajemen keuangan adalah suatu keharusan karena sebagian besar program kegiatan sekolah/madrasah disesuaikan secara administrasii dengan kemampuan keuangan. Yang menjadi penekanan disini adalah perencanaan anggaran, efisiensi penggunaan, administrasi serta peraporan. Dalam hal ini meliputi:
1) Perencanaan anggaran (tujuan pengembangan, analisis kebutuhan, RAPBM)
2) Pelaksanaan (aturan penggunaan anggaran, dokumen dana keluar masuk, transparansi)
3) Laporan dan pertanggungjawaban () mekanisme, penyusunan laporan, dan monitorin.
4. Kultur dan lingkungan
Kultur dan lingkungan pendidikan yang efektif selalu ditandai dengan suasana dan kebiiasaan kondusif untuk kegiatan belajar baik secara fisik, sosial, mental-psikologis maupun sepiritual selain itu, hal ini juga dapat menunjukan sampai sejauh mana proses belajar mengajar di madrasah dapat membentuk karakter yang diinginkan. Dalam komponen kultur dan lingkungan madrasah ini dijabarkan menjadi sub-sub komponen sebagai berikut:
a. Suasana keislaman.
Suasana keislaman yang dimaksud adalah sejauh mana sekolah/madrasah telah menjadi bagian dalam pembentukan karakter keislaman terhadap siswa didiknya baik secara fisik maupun dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang bernuansa islami. Dalam hal ini meliputi:
1) Kondisi fisik yang islami
2) Kegiatan-kegiatan yang islami
b. Suasana sosial.
Suasana sosial yang dimaksud adalah berkaitan tentang hubungan sekolah/madrasah dengan masyarakat, lembaga pendidikan lain, serta berkenaan dengan peran serta majelis sekolah/madrasah. Sejauh mana suasana sosial sekolah/madrasah dapat menjadi lingkungan yang kondusif dalam peningkatan mutu kualitas sekolah/madrasah. Dalam hal ini meliputi:
1) Hubungan sekolah/madrasah dengan masyarakat
2) Hubungan sekolah/madrasah dengan lembaga pendidikan lain
3) Peran komite sekolah/madrasah

Bobot dan nilai komponen,
Adapun obot dan nilai komponen meliputi :
1. Kondisi dan kinerja madrasah yang dinilai dalam kegiatan akreditasi ini meliputi 4 komponen, yaitu : proses belajar mengajar (PMB), Sumber Daya, Manajemen, Kultur dan Lingkungan Madrasah.
2. Setiap komponen memiliki beberapa sub komponen yang diajukan dalam bentuk kuesioner yang berisi item pertanyaan dan pernyataan. Jumlah kuesioner dalam setiap komponen sekaligus menunjukan bobot komponen tersebut.
3. Jumlah kuesioner unntuk seluruh komponen sebanyak 100 item, terdiri dari :
a. Komponen Proses Belajar Mengajar 35 item.
b. Kompoonen Sumber Daya (Sarana, Ketennagaan, dan keuangan) 25 item.
c. Komponen Manajemen 23 item.
d. Komponen Kultur dan Lingkungan Madrasah 17 item.
4. Setiap item kuesioner terdapat berbagai indikator yang menggambarkan tentang kondisi dan kinerja madrasah.
5. Angak 1-5 yang tercantum pada setiap indikator merupakan nilai yang diperoleh kuesioner. Jumlah nilai yang dapat diperoleh suatu madrasah minimal 100 dan maksimal 500.
6. jumlah nilai rata-rata setiap komponen mejadi pertimbangan penetapan status dan kualifikasi akreditasi madrasah.
7. untuk lebih jelasnya, bobot dari tiap komponen dapat dilihat pada tabel berikut:

No Komponen Bobot (%)
1 Proses Balajar Mengajar 35 %
2 Sumber daya 25 %
3 Manajemen 23 %
4 Kultur & lingkungan Madrasah 17 %
Total 100 %

G. Prinsip-Prinsip Akreditasi
Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang perlu dinamkan dalam proses akreditasi :
1. Objektif
2. Komprehensif
3. Adil
4. Transparan
5. Akuntabel

H. Prosedur dan alur Pelaksanaan Akreditasi Madrasah
1. Pelaksanaan akreditasi MI dan MTs






2. Pelaksanaan akreditasi MA









Sertifikat Akreditasi sekolah adalah surat yang menyatakan pengakuan dan penghargaan terhadap sekolah atas status dan kelayakan sekolah melalui proses pengukuran dan penilaian kinerja sekolah terhadap komponen-komponen sekolah berdasarkan standar yang ditetapkan BAN-S/M untuk jenjang pendidikan tertentu.
Masa berlaku akreditasi adalah selama 4 tahun, permohonan akreditasi ulang dilakukan 6 bulan sebelum masa berlaku habis. Akreditasi ulang untuk perbaikan diajukan sekurang-kurangnya 2 tahun sejak ditetapkan. Hasil akreditasi sekolah dinyatakan dalam peringkat akreditasi sekolah. Peringkat akreditasi sekolah terdiri atas tiga klasifikasi sebagai berikut yaitu: A (Amat Baik/Unggul), B (baik), C (Cukup). Adapun rincian rincian hasil nilainya adalah sebagai berikut:
a. Akreditasi A (Amat Baik/Unggul) bagi madrasah yang nilai rata-ratanya antara 451-500.
b. Akreditasi B (Baik) bagi madrasah yang nilai rata-ratanya antara 401-450.
c. Akreditasi C (Cukup) bagi madrasah yang nilai rata-ratanya antara 351-400.

I. Nasib Mutu Pendidikan Madrasah sebab Akreditasi
Ilustrasi tentang Akreditasi tentu sedikit jelas telah memberi informasi adanya upaya yang luar biasa pada kubu pemerintah terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di negeri kita ini, seiring dengan upaya dan strategi yang positif itu, tentu juga akan mengukir fenomena yang kurang positif bagi pihak lain.
Institusi pendidikan tentu akan berperan sebagai pemberi jasa, sehingga bisa dikatakan setiap institusi memiliki pelanggan yang bermacam-macam. Jika tujuan mutu adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan, maka hal penting yang perlu diperjelas adalah kebutuhan dan keinginan siapa yang harus terpenuhi?
Istilah pelanggan dalam dunia pendidikan tentu akan terkesan komersial, biasanya akan diperhalus dengan istilah klien atau yang lebih tepat adalah pelajar atau murid. Namun masalahnya bukan pada istila-istilah itu, akan tetapi bagaimanakah fokos perhatian lembaga pendidikan pada keinginan para pelanggan dan mengembangkan mekanisme yang untuk merespon mereka, sehingga sifat jasa yang diberikan lemaga pada pelanggannnya menjadi hal yang sangat penting. Disinilah kemudian akan lahir bentuk pemasaran semu, dan yang paling baik adalah pemasaran yang dipilih oleh para pelajar untuk kepentinggan mereka masing-masing. Satu hal yang perlu diingat adalah kesuksesan pelajar (bisa dikatakan pendidikan) adalah kesuksesan lembaga/institusi pendidikannya.
Jika kita kembali pada akreditasi dan meninjau peran “pelanggan ” tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan besar, seberapa besar jaminan mutu pendidikan yang dinilai di atas kertas oleh tim assesor baik secara lokal maupun nasional? Akan terjadi kesulitan dalam mempertemukan kebutuhan pelanggan yang bervariasi dalam satu wadah dan dalam prosesnya akan ada konflik yang potensial dan aktual. Pelajar/pelanggan akan mencari keadilan pula. Mutu dan keadilan harus berjalan seiring.
Hal inilah yang kemudian memaksa institusi mempertemukan kebutuhan pelajar dan mekanisme dana, dan sebagian institusi pendidkan merasa kesulitan untuk mendahulukan pelajar. Penekanan efisiensi mutu melalui mekanisme dana inilah yang menjadi penyebab utama, sementara penilaian menurut mekanisme dana tidak selamanya sesuai dengan umpan balik mutu yang diharapkan pelanggan. Ini merupakan isu-isu yang cukup sulit untuk dipecahkan dan TQM tidak memberi jawaban yang siap pakai untuk hal itu. Yang penting bagi TQM adalah fokus terhadap pelajar.
Hal ini (akreditasi)—tidak berlebihan untuk dikatakan ancaman— bagi lembaga yang teragreditasi tinggi atau justru menjadi anjuran meraka dalam pertimbangan mutu dan kualitasnya. Dan ancaman yang tidak kalah menantang juga terjadi pada lembaga yang nilai akreditasinya (nilai mutunya) rendah (terlebih yang belum terakreditasi) akan manjadi “tawar menawar” kualitas bahkan penggadaian jaminan mutu demi akreditasi, karena “konsumen” akan menentukan pilihannya di pasar pendidikan negeri ini yang secara transparansi dan reformasi.

J. Kesimpulan dan Penutup
Penyelenggaraan akreditasi madrasah merupakan kebutuhan bersama, baik pemerintah, masyarakat, maupun bagi lembaga pendidkan itu sendiri. Bagi pemerintah penyelanggaraan akreditasi memiliki arti yang penting, walau secara kuantitas jumlah madrasah sangat banyak dan tersebar hingga pelosok daerah; mengingat sebagian besar madrasah adalah inisiatif masyarakat secara swadaya, namun demikian keterbatasan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan akreditasi madrasah merupakan masalah yang tentu membatasi jumlah madrasah yang dapat diakreditasi setiap tahunnya.
Menurut sigkat penulis, akreditasi adalah bumerang kecil bagi pihak pengelola pendidikan jika dalam meningkatkan mutu kualitas madrasah secara yuridis hukum menjadi ajang konflik internal bahkan eksternal dalam mencapai target kuantitas dari pelanggan bukan kualitasnya dan melalikkan kepuasan terselubung atas mutualisme yang terjadi dalam transaksi nilai pendidikan di madraasah, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa akreditasi madrasah/sekolah dapat bersudut pada marketable yang bermuara pada money education. Yang mendapat laba adalah yang laris di pasaran pendidikan, dan yang “defisit” adalah yang sepi pelanggan, akankah persaingan semacam (dianggap ancaman dan anjran) ini terus berlangsung? Jawabannya adalah ya, persainggan dalam dunia pendidikan memang harus terjadi secara positif, dan jika kita ingin mengetahui mutu atau tidaknya suatu madrasaah kita harus terpaksa bisa menilai otu put dan out come, toh walaupun itu bukan jaminan pasti. Namun jika kita keluar dari problematika money education tentu kita bisa mencoba dan mempelajari kembali TQM yang bisa menjadi pertimbangan mutu pendidikan nasional yang masih duduk di gerbong 111 dari sekiang negara di dunia ini.
Demikianlah uraian dari makalah kami ini, semoga bisa memberi manfaat bagi pembaca. Dan karena keterbatasa segala halnya, tentu uluran kriti dan saran yang konstruktif dapat dimuntahkan dalam forum perkuliahan ini.
Wallahu a’lam.



DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI, Pedoman Akreditasi Madrasah, Jakarta: direktorat jendral kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2005.
Departemen Agama RI, UU dan Peraturan Pemerintah RI Tentang Pendidikan, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2006.
Hidayat, Ara, Imam machali, 2010, Pengeloolaan Pendidikan, Bandung: Pustaka Educa.
Mastuhu, , 1999, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Mulyono, 2008, Manajemen Administrasi & Organisasi Pendidikan, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Sallis, Edwar, 2008, Total Quality Management in Education (Terjemah), Yogyakarta, IRCiSoD.
Tilaar, 1995, 50 Tahun pembangunan Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Grasindo.
Umaedi, 2004, Manajemen Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah, Jakarta, Pusat Kajian Manajemen Mutu Pendidikan.
UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bandung : CV. Tamita Utama, 2006.

Minggu, 12 Desember 2010

MANAJEMEN KEUANGAN MADRASAH


DESIGN MADRASAH (SEKOLAH) MENJADI “KAYA”
(Tela’ah Managerial Budget Dalam Ranah Pendidikan Islam)

Oleh : M. Alfithrah Arufa


  1. Pendahuluan
Berangkat dari Firman Allah Subhanahu Wataala :

Artinya :
….Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. (Q.S Al-Baqoroh [2]: 197).
Sekilas ada subuah intruksi kongkrit yang perlu kita analisis lebih dalam firman Allah tersebut, seakan mengajak kita untuk berfikir, kalau segala urusan memerlukan persiapan dan perencanaan yang matang, apapun targetnya dan bagaimanapun jalurnya tentu tidak akan keluar dari lingkaran sebuah bekal atau modal. Begitu pula dengan urusan kelembagaan ataupun birokrasi dunia pendidikan, terlepas dari kompleksnya sumber bekal tersebut, uang (budget) merupakan salah satu bekal yang urgen dalam upaya menghidupkan roda-roda struktural lembaga pendidikan dalam hal ini adalah sekolah beserta mekanisme hingga sarana dan prasarana penunjang dalam mencapai target-targetnya.
Selama ini ada kesan bahwa keuangan seolah menjadi segalanya dalam memajukan sutu lembaga pendidikan, tanpa dukungan financial yang cukup, top manager lembaga pendidikan seakan tidak bisa berbuat banyak dalam upaya memajukan lembaga pendidikan yang dipimpinnya, karena mereka berpikir semua upaya memajukan senantiasa harus dimodali uang. Seakan upaya memajukan lembaga pendidikan tersebut tanpa adanya dukungan financial (uang) akan mendeg di tengah jalan.[1]  
Peningkatan kualitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan terutama bagi pendidikan Islam, dalam mewujudkan kualitas pendidikan yang diharapkan tersebut, perlu adanya pengelolaan secara menyeluruh dan profesional terhadap sumberdaya yang ada dalam lembaga pendidikan Islam dan salah satu sumber daya yang perlu dikelola dengan baik dalam lembaga pendidikan Islam adalah masalah keuangan. Dalam konteks ini keuangan merupakan sumber dana yang sangat diperlukan oleh sekolah Islam dalam meningkatkan kualitas pengajar maupun pelajar. Oleh karena itu, seorang top manager sebagai pimpinan pendidikan di sekolah harus mengetahui dan mampu mengelola keuangan sekolah Islam dengan baik bertanggung jawab dan transparan kepada masyarakat dan pemerintah.[2] Hal ini diharapkan guna mencapai sekolah islam (baca: Madrasah) yang “kaya” dalam segala hal yang positif-produktif dan konstrukif sesuai dengan firman Allah pada ulasan sebelumnya (lih : Q.S Al-Baqoroh [2]: 197).          
            Fenomena uang sebagai alat yang bisa dikatakan vital itu, telah mengundang perhatian yang sangat besar bagi kalangan aktor pendidikan, seolah-olah ada dua wajah yang nampak antara kebutuhan dan kepentingan, penggalangan dana yang rumit terutama bagi kalangan lembaga pendidikan swasta pemula. Sehingga donator (mungkin saja pemerintah) harus beradu antara dana atau kepercayaan dari ratusan ajang kreatifitas membuat proposal dari berbagai lembaga yang dirinya membutuhkan bahkan yang membutuhkan dirinya. Sekarang mari kita pikirkan mana yang lebih penting, dana atau kepercayaan dalam upaya memajukan lembaga pendidikan Islam? Dalam hal ini peranan manajemen keuangan sangat penting dalam mengatur kestabilan keuangan dan anggaran pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan Islam. ada kekeliruan atau tidaknya prosedur keuangan lembaga pendidikan Islam tentu tergantung pada kualitas system manajemen yang di terapkan. 
            Makalah yang berjudul “Design Madrasah (Sekolah) Menjadi Kaya” ini seolah-olah mengandung ambiguitas upaya sajian anlisa, di satu sisi judul ini sebuah intruksi dan di sisi lain mungkin sebagai referensi bagi kalangan pendidikan. Bagaimanakah menurut anda ?

  1. Kajian Umum Manajemen Keuangan Pendidikan
1.      Pengertian Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan dalam arti sempit adalah tata pembukuan. Sedangkan dalam arti luas adalah pengurusan dan pertanggung jawaban dalam menggunakan keuangan baik pemerintah pusat maupun daerah. [3]
Menurut R. Agus Sartono, manajemen keuangan dapat diartikan sebagai manajemen dana, baik yang berkaitan dengan pengalokasian dana dalam berbagai bentuk investasi secara efektif dan efesien maupun usaha pengumpulan dana untuk pembiayaan investasi atau pembelanjaan secara efesien.[4]
Maka berdasarkan pengertian tersebut manajemen keuangan disini mengarah pada uang dan bagaimana mengatur keuangan agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen keuangan dalam pendidikan menuntut lembaga pendidikan formal melakukan suatu usaha pengelolaan sumber keuangan, pemanfaatan keuangan, mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan dengan baik.

2.      Tahap-tahap manajemen keuangan
Menurut Thomas. H. Jones, manajemen memiliki tiga tahapan penting[5] yang jika di terapkan dalam pengelolaan keuangan akan ditemukan singkronisasi,  yaitu :
a.       Perencanaan, yaitu penyusunan anggaran (budgeting)
Penganggaran merupakan proses kegiatan atau proses penyusunan anggaran (budget). Budget ini merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalm bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu.[6] Penganggaran memeliki beberapa karakteristik dan fungsi.


Ø      Karakteristik Anggaran
Anggaran pada dasarnya memiliki dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Sisi penerimaan atau sisi pemerolehan biaya ditentukan oleh besarnya biaya yang diterima oleh lembaga dari summer dana, misalnya dari pemerintah, masyarakat, orang tua peserta didik dan sumber-sumber lainnya.[7]
Ø      Fungsi Anggaran
Anggaran disamping sebagai alat untuk perencanaan dan pengendalian, juga merupakan alat Bantu bagi manajemen dalam mengarahkan suatu lembaga menempatkan organisasi dalam posisi yang kuat atau lemah. Oleh karena itu anggaran jiga dapat berfungsi sebagai tolak ukur keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Disaming itu, anggaran dapat pila dijadikan sebagai alat untuk memperngaruhi dan memotivasi pimpinan dan manajer dan karyawan untuk bekerja efisien dalam mencapai  sasaran-sasaran lembaga.[8]
Jika kita melihat perkembangannya, anggaran mempunyai manfaat yang dapat digolongkan ke dalam tiga jenis, yaitu :
ü      Sebagai alat penaksir,
ü      Sebagai alat otoritas pengeluaran dana, dan
ü      Sebagai alat efesiensi.[9]
Ø      Prinsip-Prinsip dan Prosedur Anggaran
Prinsip-prinsip penyusunan anggaran bila dikaitkan denggaran sebagai alat perencanaan dan pengendalian menurut Nanang Fattah adalah sebagai berikut :
ü      Adanya pembagian wewenang dan tangggungjawab yang jelas dalam sisttem manajemen dan organisasi.
ü      Adanya system akuntansi yang memadai dalam melaksanakan anggaran.
ü      Adanya penelitian dan analisa untuk menilai kinerja organisasi.
ü      Adanya dukungan dari pelaksana mulai dari tingkat atas sampai yang ppaling bawah.[10]
Ø      Bentuk-bentuk Anggaran
Macam-macam bentuk anggaran adalah sebagai berikut :
ü      Anggaran butir per butir (line item budget)
Anaggaran butir per butir ini merupakan bentuk anggaran yang paling simpel dan banyak digunakan . dalam bentuk  ini setiap pengeluaran dikelompokkan berdasarkan kategori-kategori, misalnya gaji, upah, honor, menjadi satu kategori atau satu nomor atau butir, dan perlengkapan, sarana, material dengan butir tersendiri.[11] 
ü      Anggaran program (Program budget system)
Bentuk anggaran ini dirancang untuk mengidentifikasi biaya setiap program. Anggaran program dihitung berdasarkan jenis program. Sebagai bahan perbandingan kalau dalam anggaran butir per butir disebutkan gaji guru, sedangkan dalam anggaran program disebut gaji uuntuk perencanaan pengajaran IPA sebagai salah satu komponen dan menyangkut semua kaitannya dengan pelajaran IPA.[12]  
ü      Anggaran berdasarkan kinerja (Performance-based budget)
Benntuk ini sesuai namanya menekankan kinerja (performance) dan bukan pada keterperincian dari suatu alokasi anggaran. Anggaran berdasarkan hasil ini merupakan alat manajemen yang dapat mengidentifikasi secara jelas satuan dari hasil suatu program dan sekaligus merinci butir per butir dari kegiatan yang harus dibiayai.[13] 
ü      Sistem Perencanaan Penyusunan Program Dan Penganggaran (SP4) / Planing Programing Budgeting System (PPBS).
PPBS ini merupakan kerangka kerja dalam perencanaan dengan mengorganisasikan informasi dan menganalisisnya secara sistematis. Dalam  PPBS ini tiap-tipa tujuan suatu program dinyatakan dengan jelas, baik jangka pendek maupun jangka penjang, dalam proses ini data tentang biaya, keuntungan, kelayakan suatu program disajikan secara lengkap sehingga pengambil keputusan dapat menentukan pilihan program yang dianggap paling menguntungkan.[14]
Ø      Azas-Azas Dalam Anggaran
Berikut in adalah Azas-Azas Dalam Anggaran dalam biaya pendidikan:
ü      Azas Plafond ; anggaran belanja tidak boleh melebihi jumlah tertinggi dari standar yang telah ditentukan.
ü      Azas pengeluaran berdasarkan mata anggaran ; pengeluaran pembelanjaan harus didasrkan pada anggaran yang telah ditetapkan.
ü       Azas tidak langsung ; adalah ketentuan bahwa setiap penerimaan uang tidak boleh digunakan secara langsung untuk keperluan pengeluaran.[15]

b.      Pelaksanaan, yaitu pembukuan/akuntansi (accounting)
kegiatan kedua dalam manajemen pembiyaan adalah akuntansi, merupakan bahasa yang digunakan untuk mengembangkan hasil kegiatan ekonomi. Kegeiatan-kegiatan tersebut melibatkan konversi (perubahan) sumber daya yang ada menjadi barang dan jasa yang bisa dipakai. Oleh karena itu accounting berkaitan dengan mengukur dan menyingkap hasil dari kegiatan konversi sumber daya tadi.
Fungsi akuntansi bagi badan usaha dan masyarakat adalah menyajikan informasi kuantitatif tertentu yang dapat digunakan oleh pimpinan entitas ekonomi maupun pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Berikut ini adalah komponen-komponen system akuntansi : 1) Bagan perkiraan, 2) Buku besar 3) Jurnal, dan 4) Buku cek.[16]


c.       Penilaian, yaitu pemeriksaan (auditing)
Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian barang bukti ttentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independent untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.[17] Dalam hal ini auditing berkaitan dengan pertanggung jawanban penerimaan, penyimpanan dan pembayaran atau penyerahan uang yang dilakukan bendaharawan kepada pihak-pihak yang berwenag.[18] 
Adapun jenis-jenis auditing adalah sebagai berikut ;
ü      Audit laporan keuangan
Bertujuan menentukan apakah laporan keuangan secara keseluruhan yang merupakan informasi terukur yang akan diverifikasi, telah disajikan sesuuai dengan kriteria-kriteria tertentu.
ü      Audit operasional
Merupakan penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi unutk menilai efesiensi dan efektifitasnya. Dalam audit operasional, tinjauan yang dilakukan tidak terbatas pada masalah-masalah akuntansi, tetapi juga meliputi evaluasi terhadap strukstur  organisasi, pemanfaatan komputer, metode produksi, dan bidang-bidang lain sesuai dengan keahlian auditor. Pada dasarnya auditor operasional cendrung memberikan saran perbaikan prestasi kerja dibandingkan melaporkan keberhasilan prestsasi kerja yang sekarang. Dalam hal ini audit operasional lebih merupakan konsultasi manajemen dari pada audit.[19]  
ü      Audit ketaatan
Audt ini bertujuan mempertimbangkan apakah audit (klien) telah mengikuti prosedur atau aturan tertentu yang telah ditetapkan pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi. Hasil audit ketaatan biasanya tidak dilaporkan kepada pihak luar, tetapi dalam pihak tertentu dalam organisasi atau lembaga. Pimpinan organiisasi adalah pihak yang paling berkepentingan atas dipatuhinya prosedur dan aturan yang telah ditetapkan.[20]  

Kegiatan lain yang berkaitan dengan manajemen keuangan adalah membuat laporan pertanggung jawaban keuangan kepada kalangan internal lembaga atau eksternal yang menjadi stakeholder lembaga pendidikan. Pelaporan bisa dilakukan secara periodik seperti laporan tahunan dan laporan pada amasa akhir masa jabatan   pimpinan. [21]

Ø      Hal-Hal Yang Berpenggaruh Terhadap Dana Pendidikan
Pembiayaan penndidikan tidak pernah teteap dan akan selalu berkembang dari tahun ke tahun. Secara garis besar perubahan pembiayaan pendidikan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu factor eksternal dan internal.
Faktor eksternal
ü      Berkembangnya demokrasi pendidikan
ü      Kebijakan pemerintah
ü      Tuntutan akan pendidikan
ü      Adanya inflasi
Faktor internal
ü      Tujuan pendidikan
ü      Pendekatan yang digunakan
ü      Materi yang disajikan
ü      Tingkat dan jenis pendidikan[22]

  1. Manajemen Keuangan Pada Lembaga Pendidikan Islam (Madrasah)
1.      Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan sekolah Islam
Penggunaan keuangan dalam lembaga pendidikan Islam didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.       Hemat tidak mewah, efesien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan
b.      Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program atau kegiatan.
c.       keharusan penggunaa kemampuan.[23]

2.      Perencanaan Anggaran Sekolah Islam
Kepala sekolah diharuskan mampu menyusun Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja sekolah  (RAPBS). Oleh karena itu kepala sekolah harus mengetahui sumber-sumber dana yang merupakan sumber daya sekolah.  Sumber dana tersebut antara lain meliputi dana rutin, dana penunjang pendidikan (DPP), Subsidi Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan (SBPP), Bantuan Operasional dan Perawatan (BOP), Bantuan Operasional sekolah (BOS), BP3, donator, badan usaha serta sumbangan lain-lain. Untuk sekolah-sekolah swasta sumber dana bersumber dari SPP, subsidi pemerintah, donator, yayasan, masyarakat secara luas.[24]
Selain itu biasanya sekolah islam juga mengembangkan penggalian dana dalam bentuk :
a.       Amal jariyah ; diwujudkan dalam bentuk sumbanagan orang tua siswa baru. Formulir sumbangan ini diberikan setelah siswa dinyatakan diteriama menjadi siswa pada suatu sekolah.
b.      Zakat Mal ; dalam hal ini BP3 bisa mengedarkan formulir zakat mal kepada orang tua  siswa pada settiap bulan Ramadhan.
c.       Uang Syukuran ; orang tua diharapka bisa mengisi kas sekolah Islam secara sukarela sebagai rasa syukur tatkala anaknya masuk kelas.
d.      Amal Jum’at ; sebagai salah satu sarana untuk ikhlas beramal bagi setiap siswa, maka BP3 bisa mengedarkan kotak amal kepada siswa secara sukarela.[25]
                                     
3.      Sumber anggaran yang digali oleh lembaga pendidikan Islam.
Secara umum pembiayaan lembaga pendidikan Islam dapat berasal dari :
a.       Orang tua murid dan masyarakat (perorangan dan dunia usaha)
b.      Pemerintah, baik berupa dana rutin (institusi negeri) maupun bantuan (bagi institusi swasta)
c.       Bantuan lain yang seperti pinjaman luar negeri yang diperuntukkan bagi pendidikan, sepperti UNICEF atau UNESCO, pinjaman Bank Dunia, Bank pembanguna Asia, atau Bank pembangunan Islam.[26]
Proses penggalian dana ini tentunya memerlukan kepercayaan yang  kuat antara top manager ataupun pihak yang bertuga menggali dana terhadap calon donator yang menjadi daya pendidikan lembaga tersebut. Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh dalam membina kepercayaan, yaitu sebagai berikut :
ü      Pihak yang mengajukan proposal kepada calon donator haruslah orang yang terkenal jujur, bersih dan amanat.
ü      Lembaga pendidikan Islam harus mampu menunjukan bahwa bantuan dari pihak-pihak lain yang diterima saat ini dimanfaatkan secara benar dan dapat dibuktikan.
ü      Pihak yang mengajukan bantuan bersama kelompoknya haruslah orang-orang yang dikenal memiliki semangat besah untuk menghidupkan lembaga pendidikan Islam.
ü      Calon donator harus bida diyakinkan bahwa pelaksanaan program benar-benar sangat penting. Bahkan menndesak untuk diwujudkan.
ü      Calon donator perlu disadarkan bahwa bantuan yang akan diberikan akan membangun lembaga pendidikan Islam merupakan shadaqah jariyah yang pahalanya terus mengalir.[27]

4.      Penggunaan Anggaran Sekolah Islam
Dilihat dari segi penggunaannya, sumber dana dapat di bagi sebagai berikut :
a.       Anggaran untuk kegiatan rutin, yaitu gaji dan biaya operasional sehari-hari sekolah.
b.      Anggaran untuk pengembangan sekolah.[28]
Selain dua hal tersebut ada satu macam lagi yang perlu dialokasikan, yaitu anggaran untuk kebutuhan dan kepentingan social, baik bantuan social ke dalam maupun ke luar,[29] 

5.      Pelaksanaan Anggaran Belanja Sekolah Islam
Dalam mempergunakan anggaran, sekolah Islam tentu tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip yang telas dipaparkan sebelumnya.  Dalam pelaksanaannya manajemen keuangan ini menganut azas pemisahan tugas antara funsi otorisator, ordonatur, dan bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi wenang untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Ordonatur adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas seggala tindakan yang dilakukan. Adapun bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang atau surat-surat  berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang serta diwajibkan membuat perhitungan-perhitungan dan pertanggungjawaban.[30]
Berdasarkan dengan hal tersebut dapat diterapkan panca tertib, yaitu : (1) tertib program, (2) tertib anggaran, (3) tertib administrasi, (4) tertib pelaksanaan, (5) tertib pengendalian atau pengawasan.[31]

6.      Peranan Top Manajer lembaga pendidikan Islam dalam manajemen keuangan.
Dalam peningkatan kuantitas perekonomian sekolah Islam, manajer sebuah lembaga pendidikan Islam paling tidak memiliki naluri bisnis (sense fo bussines), tentunya untuk kepentingan lembaga, bukan untuk kepentingan pribadi. Dalam naluri seorang pimpinan sekolah Islam harus bisa melihat kesempatan dan peluang dalam bagi kepentingan lembaga yang dipimpinnya, terutamma apabila dana atau uang itu telah didapatkan, seorang manajer lembaga pendidikan Islam harus bisa berusaha mengembangkanya melalui usaha-usaha produktif agar dana tersebut tidak mandeg dan habis sia-sia. Usaha tersebut bisa diwujudkan dalam usaha mandiri secara otonom maupun kerja sama dengan para pengusaha dengan pola bagi hasil. Tentu hal seperti ini memerlukan kesungguhan, keuletan, kejelian, perhitungan yang presisi, serta pengontrolan secara ketat dan peridik.[32]
Pada bagian lain manajer lembaga pendidikan Islam harus menjaga kepercayaan para pemberi dana dan juga pihak lain. Dengan begitu meraka tidak akan jera untuk membantu lembaga pendidikan Islam, bahkan diupayakan agar mereka dapat mambantu lagi. [33]   
Bagi lembaga pendidikan, perlu dilakukan proses pengawasan yang dilakukan langsung oleh para pimpinan terhadap bidang yang menggunakan keuangan walaupun secara struktural dan fungsionalnya telah ada yang bertugas untuk hal tersebut. Karena hal ini merupakan amanah yang menuntuk akuntabilitas (vertical-horizontal), maka sudah saatnya sekolah-seklolah Agama atau pesantren mampu memperhatikan pengawasan anggaran ini. Hhal ini tentu akan berakibat pada akuntabilitas para pemimpin sekolah demi menjaga kepercayaan dari semua pihak dan nama baik sekolah yang dipimpinnya.[34]   
Selain penyusunan anggaran yang tepat dan singkron dengan kebutuhan, manajer lembaga pendidikan Islam juga bertugas mengusahakan agar para bawahannya melkukan tugas dan kewajibannya dan diarahkan sesuai dengan sasaran yang telah diteteapkan terutama dalam hal keuangan. Harus bisa membuka diri untuk trasparansi.[35] 

  1. UU Sisdiknas dan Kondisi Pendanaan Pendidikan Islam 
            Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 46 ayat 1 Undang-Undang Dasar tentang Sisterm Pendidikan Nasional, “Pendanaan pendidikan menajdi tanggung jawab bersama antara pemerintah, daerah, dan masyarakat.”[36] Ketentuan ini merupakan ketentuan normatif yang menjadi payung hukum tentang tanggung jawab pendanaan bagi semua jenis pendidikan. Hanya saja, realitanya baru mulai proses paling awal bagi lembaga pendidikan swasta. Terlebih lagi, lembaga pendidikan Islam yang maoritas swasta selama ini telah menjadi korban diskriminasi kebijakan pemerintah.
Kondisi Madrasah Diniyah, Taman Pendidikan Al-Qur’an, dan pesantren lebih parah lagi. Lembaga-lembaga tersebut telah berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi kurang mendapat perhatian pemerintah, baik pemerintah pusat naupun daerah. Baru belakangan ini ada upaya dari suatu pemerintah daerah untuk memeberi tunjanagan pada Guru-Guru mengaji di lembaga-lembaga tersebut sebesar Rp. 50.000,- setahun.[37] Suatu angka yang sangat memprihatinkan memang, bahkan kalau dianggap secara emosional merupakan suatu angka yang melecehkan. Seharusnya, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerahberupaya mengalokasikan gaji bagi mereka setiap bulan melalui pemerdayaan pendapatan pemerintah pusat dan daerah.
Jadi, tanggung jawab pendanaan pendidikan, terutama menyangkut madrasah diniyah, taman pendidikan Al-Qur’an, dan pesantren hingga sekarang ini masih belum dapat perhatian yang memadai dari pemerintah pusat atau daerah. Baru sebatas masyarakat yang memiliki kepedulian pada lembaga-lembaga tersebut dengan memberi bantuan. Jadi, amanat UU tentang Sisdiknas pasal 46 ayat 1 tersebut masih belum dilaksanakan secara memadai oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai sumber keuangan dalam konteks pendidikan.

  1. Kesimpulan dan Penutup
Tidak banyak argumentasi yang yang bisa kita soroti dari sudut materialistik pendidikan di Idonesia, pengelolaan keuangan yang akan menjadi sasaran “empuk” bagi segala pihak ini tentu akan melahirkan sekomplek kesimpangsiuran dalam pengaturan uang di negara (yang katanya) memiliki peringkat tertinggi kedua dalam masalah uang (baca: korupsi).
Dari rangkaian teoritik yang kami sajikan pada makalah ini hanya akan berotasi pada kulit luar sasaran dalam Design Madrasah (sekolah) Menjadi “Kaya”, dalam artian inti makna aplikatif “kaya” yang kita harapkan cenderung sulit tersentuh jika belum meluaskan defenitifnya dalam ruang bathin seorang pengelola Pendidikan Islam, sangat miskin sekali  jika “kaya” bagi pendidikan Islam di nobatkan sebagai setumpuk lembaran uang yang diharap-harapkan, sementara proses pencapaiannya tidak ada kejelasan dan kepercayaan yang dibangun sejak awal. Sikap berpangku tangan pada satu target donatur menjadi indikator bahwa lembaga pendidikan Islam kurang kreatif dan mandiri.
Kita tentu akan merasa bangga dengan melihat pesantren sebagai lembaga swasta murni, tetapi mampu mengembangkan sumber-suber keuangannya secara mendiri. Misalnya Pesantren Al-Zaitun Indamayu Jawa Barat, Ponpes Modern Darus Salam, Gontor-Ponorogo yang terkenal dengan pengelolahan tanah wakafnya, pesantren An-Nur Bulawang Malang dengan usaha pom bensinnya di berbagai tempat, dan masih banyak lagi lembaga-lembaga lainnya.
Disinilah kemudian kami dapat memuntahkan suatu tawaran sementara bagi lembaga pendidikan Islam, bahwa inti dari manajemen keuangan dalam pendidikan Islam dapat dikatakan “kaya” (baca: berhasil) apabila telah berusaha sekuat tenaga untuk menggali dana secara kreatif  (bahkan mandiri) dan maksimal, menggunakan dana secara jujur dan terbuka, mengembangkan dana secara produktif, dan memper-tanggungjawab-kan dana secara objektif. Bila sikap ini benar-benar dilaksanakan oleh para manjer lembaga pendidikan Islam, maka manajemen keuangan akan membantu kemajuan lembaga pendidikan yang dipimpin tersebut, bahkan lebih jauh akan memberi efek referentif bagi dunia ilmu pendidikan, bukan lagi intruktif yang dilemparkan secara bertubi-tubi oleh berbagai kalangan terhadap lembaga Pedidikan Islam.    
Demikianlah hidangan analisa kami menegnai manajemen budget Pendidikan Islam, sehingga perlu menghadirkan pertanyaan di akhir maklah ini, sudah atau belum “kaya”kah Lembaga pendidikan Islam di negeri kita yang unik ini? Jawablah secara objektif aktualitas, dan apa yang akan kita lakukan sebagai agen of change dunia Pendidikan?                 

Wallahu A’lam
     
DAFTAR RUJUKAN


Arikunto Suharsimi dan Lia Yuliana, 2000,  Manajemen Pendidikan, Yogyakarta; Aditya Media & FIP UNY.
Fattah Nanang, 2009,  Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung; Rosda.
Hikmat, 2009, Manajemen pendidikan, bandung ; Pustaka setia,
Panduan Manajemen Sekolah TEP, 1998, Direktorat pendidikan menengah Depdikbud.
Qomar Mujamil, ttp, Manajemen Pendidikan Islam Strategi baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Surabaya ; Erlangga.
Sartono R. Agus, 2001, Manajemen keuangan Teori dan Aplikasi, Yogyakarta; FE UGM, Cet I.
Sulistiorini, 2009, Manajemen Pendidikan Islam, Konsep, Strategi, dan Aplikasi, Yogyakarta ; Teras.
Syafaruddin, 2005,  Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat ; Ciputat Press.
Tim dosen Administrasi Pendidikan UPI, 2009, Manajemen Pendidikan, Bandung; Alfabeta,
UU RI NO. 21 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, ttp, tkp : Pustaka Widyatama.


[1] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Surabaya, Erlangga, t.t.p, hlm. 163
[2] Sulistiorini, Manajemen Pendidikan Islam, Konsep, Strategi, dan Aplikasi, Yogyakarta, Teras, 2009, hlm. 130
[3] Ibid.
[4] R. Agus Sartono, Manajemen keuangan Teori dan Aplikasi, Yogyakarta; FE UGM, 2001, Cet ke-1,    hlm. 6.
[5] Tim dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan, Bandung; Alfabeta, 2009, hlm. 257  
[6] Nanang Fatth, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung; Rosda, 2009, hlm. 47
[7] Ibid, hlm. 48
[8] Ibid, hlm. 49
[9] Ibid
[10] Ibid, hlm.50
[11] Ibid, hlm.53
[12] Tim dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan,…., hlm. 262
[13] Ibid. hlm. 263
[14] Ibid. hlm. 263
[15] Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, Yogyakarta; Aditya Media & FIP UNY, 2000, hlm. 319-320
[16] Tim dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan,…., hlm. 265-566
[17] Ibid, hlm. 267
[18] Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, Yogyakarta; Aditya Media & FIP UNY, 2000, hlm. 318
[19] Tim dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan,….,, hlm. 268
[20] Ibid, hlm. 269
[21] Ibid, hlm. 269
[22] Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, …., hlm. 320-321
[23] Sulistiorini, Manajemen Pendidikan Islam, Konsep, Strategi, dan Aplikasi, Yogyakarta, Teras, 2009, hlm. 131
[24] Ibid, hlm. 132
[25] Ibid, hlm. 133
[26] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat ; Ciputat Press, 2005, hlm. 268
[27] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Surabaya, Erlangga, t.t.p, hlm. 165
[28] Panduan Manajemen Sekolah TEP : Direktorat pendidikan menengah Depdikbud, 1998, hlm. 82
[29] Mujamil Qomar,… hlm. 167
[30] Sulistiorini, Manajemen Pendidikan Islam,…. hlm.134
[31] Ibid, hlm. 135
[32] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam,… hlm. 169
[33] Ibid.
[34] Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat ; Ciputat Press, 2005, hlm. 270
[35] Hikmat, Manajemen pendidikan, bandung ; Pustaka setia, 2009, hlm. 128
[36] UU RI NO. 21 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tkp : Pustaka Widyatama, tt, hlm.31 
[37] Mujamil Qomar,… hlm. 166