Selasa, 03 Mei 2011

Pendekatan Studi Agama dalam Agama Islam

RITUAL & COMMUNITY:
Teori Dasar Pendekatan Dalam Pengkajian Islam

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

A.    Pengantar
Sebelum lebih dalam menyoroti ataupun menjamah dasar pendekatan (approach) dalam pengkajian Islam, ada uniknya jika kita “melototi” sejenak sebuah resonansi (dengungan suara) yang cukup menggertak. Resonansi Ahmad Syarii Ma’arif yang mengutip sebuah keluhan Muhammad Iqbal dalam karyanya Sikwah Wa Jawab-i Syikwah  tentang kondisi dunia Islam yang terbelah berserakan, berikut adalah keluhan getir Iqbal itu: [1]
“Pikiranku tinggi menerawang mencapai langit.
Tapi di bumi aku terhina, gagal dan dalam sekarat.
Aku tak mampu menangani masalah dunia ini,
dan tetap saja menghadapi batu penarung di jalan ini.
Mengapa urusan dunia terlepas dari kontrolku?
Mengapa si Alim dalam agama, bahlul dalam dunia?”

Penyair sufi dari Persia yang bernama Jalal al-Din Al-Rumi (1207-1273) dengan enteng menjawab keluhan Iqbal itu, tapi langsung menusuk jantung persoalan :
“Seseorang yang (mengaku mampu) berjalan di langit;
mengapa bagitu sulit baginya berjalan di bumi?”

Sekilas kita dibuat bingung dengan permainan kata-kata indah para penyair sufi ini. Seolah menyihir pikiran kita, pertanyaan yang dijawab dengan bertanya pula. Tapi yang jelas ini bukan sekedar kata-kata indah, Ini adalah masalah serius dunia Islam yang masih berlangsung sampai hari ini, kita mengaku sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, tetapi dalam kenyataannya di bumi tersungkur, dimainkan pihak lain dan kitapun rapuh tak berdaya. Terlalu berjibun masalah yang mengitari kita, di manapun di sudut dunia, tetapi perpecahan umat dan perselingkungan ulama dan penguasa yang semakin memperburuk keadaan belum juga usai. Untuk berapa lama lagi suasana sekarat semacam ini “setia” bersama kita? Kita lah yang akan menjawabnya bersama-sama. Jawaban solutif yang diungkap Syafii Maarif berdasarkan yang terbaca dalam “Jawab-i Syikwah” adalah beracu pada syarat tunggal : beriman dan berislam secara autentik di bawah bimbingan kenabian. Bukan yang lainnya. Jawaban yang terasa mahal, tetapi menuntut ketulusan dan sikap hati yang bening. Karena ada kekhawatiran menempuh jalan di luar itu, hhanya akan menyeret kita ke dalam “lingkaran setan” yang tak jelas ujung pangkalnya. 
Ilustrasi resonansi  tadi (entah) sedikit mengantarkan kita pada satu titik opini realitas tentang teologis dan normatifis yang selama ini menjadi panorama “mimpi indah” bagi kalangan umat beragama (terutama umat muslim). Lalu bagaimana kita memahami Islam secarah universal jika selama ini Islam banyak dipahami dari segi teolgis dan normative saja. Karena sifatnya (teolgis dan normative) yang partikularistik, M. Amin Abdullah-pun mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.[2]
Berdasar pada probema tersebut, berbagai upaya solutif telah dicoba dalam kajian dan penelitian agama-agama, tentu ada banyak pendekatan yang kemudian muncul sebagai titik cahaya berkedap-kedip bagi tujuan esensial dari agama itu sendiri (baca : Islam), muncul berbagai pendekatan lain seperti Antropologis, Sosiologis, Filosofis, Historis, kebudayaan, hingga Psikologis. Inilah yang kemudian mengokohkan Abudin Nata untuk memuntahkan argumentasinya, bahwa agama dapat dipahami bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normative belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.[3]
Agama yang bersifat substantif, fungsional, dan simbolik tentu akan melahirkan banyak fenomena dalam pemahamannya esensialnya. Selain kajian terhadapn Scripture and prophet, Ritual And Community juga merupakan hal yang seharusnya sangat berperan urgen dalam kajian Agama (Islam).
Studi ritual dalam Islam merupakan studi yang agak terbengkalai dalam ranah studi Islam, padahal Islam sangat menekankan aspek ritual. Begitu pentingnya aspek ritual, sehingga studi yang terfokuskan pada tema ini merupakan suatu upaya memberikan penjelasan komprehensif dan kontruktif dari makna-makna yang sebenarnya. Penting dilakukan pada kajian ini adalah mengconstruct sebuah perspektif baru dan dengan teori-teori modern sebagai terobosan studi tentang ritual Islam kontemporer. Hal inilah yang menarik perhatian Fredrick M. Denny.
Fredrick M. Denny mencoba memberikan sebuah pemahaman pada kita tantang cakupan studi riual yang lebih baru sebagaimana yang diterapkan pada Islam. baginya pertanyaan bagi studi agama bukanlah “apakah ritual banyak terdapat dalam Islam?”, melainkan “bagaimana mendekati studi aneka macam aktivitas ritual di dalam Islam?”. Singkatnya, tren yang lebih baru dalam studi ritual bukan untuk mengidentifiksi dan mengisolasi data ritual bagi analisis tetapi agaknya untuk menempatkan data itu dalam matrik budaya yang lebih luas yang di dalamnya data itu ada dan barang kali menemukan maknanya.[4]  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar