Selasa, 03 Mei 2011

Pendekatan Studi Agama dalam Agama Islam

RITUAL & COMMUNITY:
Teori Dasar Pendekatan Dalam Pengkajian Islam

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

A.    Pengantar
Sebelum lebih dalam menyoroti ataupun menjamah dasar pendekatan (approach) dalam pengkajian Islam, ada uniknya jika kita “melototi” sejenak sebuah resonansi (dengungan suara) yang cukup menggertak. Resonansi Ahmad Syarii Ma’arif yang mengutip sebuah keluhan Muhammad Iqbal dalam karyanya Sikwah Wa Jawab-i Syikwah  tentang kondisi dunia Islam yang terbelah berserakan, berikut adalah keluhan getir Iqbal itu: [1]
“Pikiranku tinggi menerawang mencapai langit.
Tapi di bumi aku terhina, gagal dan dalam sekarat.
Aku tak mampu menangani masalah dunia ini,
dan tetap saja menghadapi batu penarung di jalan ini.
Mengapa urusan dunia terlepas dari kontrolku?
Mengapa si Alim dalam agama, bahlul dalam dunia?”

Penyair sufi dari Persia yang bernama Jalal al-Din Al-Rumi (1207-1273) dengan enteng menjawab keluhan Iqbal itu, tapi langsung menusuk jantung persoalan :
“Seseorang yang (mengaku mampu) berjalan di langit;
mengapa bagitu sulit baginya berjalan di bumi?”

Sekilas kita dibuat bingung dengan permainan kata-kata indah para penyair sufi ini. Seolah menyihir pikiran kita, pertanyaan yang dijawab dengan bertanya pula. Tapi yang jelas ini bukan sekedar kata-kata indah, Ini adalah masalah serius dunia Islam yang masih berlangsung sampai hari ini, kita mengaku sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, tetapi dalam kenyataannya di bumi tersungkur, dimainkan pihak lain dan kitapun rapuh tak berdaya. Terlalu berjibun masalah yang mengitari kita, di manapun di sudut dunia, tetapi perpecahan umat dan perselingkungan ulama dan penguasa yang semakin memperburuk keadaan belum juga usai. Untuk berapa lama lagi suasana sekarat semacam ini “setia” bersama kita? Kita lah yang akan menjawabnya bersama-sama. Jawaban solutif yang diungkap Syafii Maarif berdasarkan yang terbaca dalam “Jawab-i Syikwah” adalah beracu pada syarat tunggal : beriman dan berislam secara autentik di bawah bimbingan kenabian. Bukan yang lainnya. Jawaban yang terasa mahal, tetapi menuntut ketulusan dan sikap hati yang bening. Karena ada kekhawatiran menempuh jalan di luar itu, hhanya akan menyeret kita ke dalam “lingkaran setan” yang tak jelas ujung pangkalnya. 
Ilustrasi resonansi  tadi (entah) sedikit mengantarkan kita pada satu titik opini realitas tentang teologis dan normatifis yang selama ini menjadi panorama “mimpi indah” bagi kalangan umat beragama (terutama umat muslim). Lalu bagaimana kita memahami Islam secarah universal jika selama ini Islam banyak dipahami dari segi teolgis dan normative saja. Karena sifatnya (teolgis dan normative) yang partikularistik, M. Amin Abdullah-pun mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.[2]
Berdasar pada probema tersebut, berbagai upaya solutif telah dicoba dalam kajian dan penelitian agama-agama, tentu ada banyak pendekatan yang kemudian muncul sebagai titik cahaya berkedap-kedip bagi tujuan esensial dari agama itu sendiri (baca : Islam), muncul berbagai pendekatan lain seperti Antropologis, Sosiologis, Filosofis, Historis, kebudayaan, hingga Psikologis. Inilah yang kemudian mengokohkan Abudin Nata untuk memuntahkan argumentasinya, bahwa agama dapat dipahami bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normative belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.[3]
Agama yang bersifat substantif, fungsional, dan simbolik tentu akan melahirkan banyak fenomena dalam pemahamannya esensialnya. Selain kajian terhadapn Scripture and prophet, Ritual And Community juga merupakan hal yang seharusnya sangat berperan urgen dalam kajian Agama (Islam).
Studi ritual dalam Islam merupakan studi yang agak terbengkalai dalam ranah studi Islam, padahal Islam sangat menekankan aspek ritual. Begitu pentingnya aspek ritual, sehingga studi yang terfokuskan pada tema ini merupakan suatu upaya memberikan penjelasan komprehensif dan kontruktif dari makna-makna yang sebenarnya. Penting dilakukan pada kajian ini adalah mengconstruct sebuah perspektif baru dan dengan teori-teori modern sebagai terobosan studi tentang ritual Islam kontemporer. Hal inilah yang menarik perhatian Fredrick M. Denny.
Fredrick M. Denny mencoba memberikan sebuah pemahaman pada kita tantang cakupan studi riual yang lebih baru sebagaimana yang diterapkan pada Islam. baginya pertanyaan bagi studi agama bukanlah “apakah ritual banyak terdapat dalam Islam?”, melainkan “bagaimana mendekati studi aneka macam aktivitas ritual di dalam Islam?”. Singkatnya, tren yang lebih baru dalam studi ritual bukan untuk mengidentifiksi dan mengisolasi data ritual bagi analisis tetapi agaknya untuk menempatkan data itu dalam matrik budaya yang lebih luas yang di dalamnya data itu ada dan barang kali menemukan maknanya.[4]  

Sejarah Peradaban Islam


IMPERIUM DINASTI ABASIYAH
(Napak Tilas, dan Sumbangsinya Dalam Perkembangan Pemikiran & Peradaban Islam)
Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I

A.    Pendahuluan

Peradaban Islam mulai di bangun oleh Nabi Muhammad saw, ketika berhasil merumuskan masyarakat Madani dan Piagam Madinah, kemudian di lanjutkan oleh Khulafa Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Afffan, dan Ali Ibn Thalib) sistem yang di kembangkan pada saat itu adalah sistem demokrasi di mana pucuk pimpinan di pilih melalui Musyawarah oleh beberapa orang yang di tunjuk oleh kaum muslimin atau khalifah sebelumnya, pasca meninggalnya Ali dan naiknya Muawiyah, sistem pemerintahan dalam Islam berubah dratis dari sistem kekhilafahan ke Monarkhi Absolut. Monarkhi Absolut di buktikan dengan di pilihnya Yazid sebagai putra mahkota, kemudian mengangkat dirinya sebagai Kholifah fi Allah, mulailah babak baru dalam pemerintahan Islam dan berlangsung terus menerus sampai kepada Khalifah Turki Usmani sebagai konsep pemerintahan Khalifah (penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat) terakhir dalam dunia Islam.
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa Dinasti Abbasiyah. Di buktikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan di awali dengan menerjemahkan naskah-naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat ilmu pengetahuan dan perpustakaan Bait al- Hikmah, dan terbentuknya madzhab-madzhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir yang menjadi ciri khas pada masa Abbasiyah lambat laun mengalami kemunduran sebab-sebab kemunduran Dinasti ini di latar belakangi oleh faktor internal dan eksternal.
Imperium kedua Islam ini muncul setelah terjadi revolusi sosial yang di peroleh oleh para keturunan Abbas dan di dukung oleh kelompok oposisi yang membrontak kepada kekuasan Bani Umayyah seperti Syiah, Khawarij, Qodariyah, Mawali (non –Arab) dan suku Arab bagian Selatan.
Makalah ini akan membahas sedikit proses munculnya Dinasti Bani Abbsiyah, kemajuan yang di capai, dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran pada masa Dinasti Abbasiyah. Dengan harapan akan terbuka wacana pemikiran terhadap peradaban Islam pada masa itu dan hikmah apa yang dapat kita ambil untuk di jadikan spirit dan pelajaran demi kemajuan Islam sekarang.


B.     Periodesasi Masa Abbasiyah

Para sejarawan mengkalisifikasikan periode Abbasiyah berbeda-beda. Menurut B.G. Stryzewki  membagi  masa-masa pemerintahan bani Abbas menjadi lima periode :[1]
1.       Periode pertama, (132 H/570 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama. Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far al-Mansur 136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun ar-Rasyid 170-193 H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-Mu’tasim 218-227 H, al-Watsiq 227-232 H.
2.       Periode kedua (132 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama. Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil 232-247 H, al-Muntashir 247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz 252-255 H, al-Muhtadi 255-256 H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 – 289 H, al-Muktafi 289-295 H, al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H, ar-Radhi 322-329 H, al-Muttaqi 329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
3.       Periode ketiga (334 H/9445 M – 447 H/ 1055 M), Masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khalifah Abbasiayah. Periode ini disebut juga dengan masa pengaruuh Persia kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’ 334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381 H, al-Qadir 381 – 422 H.
4.       Periode keempat (447 H/ 1055 – 590 H/1194 M), masa kekuasaan bani Saljuk dalam pemerintahan  khalifah Abbasiyah; biasanya juga disebut dengan masa pengaruh Turki kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H, al-Muqtadi 467-487 H, al-Mustazhhir 487-512 H, al-Mustasyid 512-529 H, ar-Rasyid 529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H, al-Munstanjid 555-566 H, al-Mustadhi’ 566-575 H.
5.       Periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad. khalifah yang memerintah adalah an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H, al-Musta’shim 640-656 H.

               Sementara Guru besar Ilmu Sejarah Islam dari Universitas Mesir (Egyptian University) membagi ke dalam lima masa pula:[2]
1.       Masa kuat-kuasa dan bekerja membangun, berjalan 100 tahun lamanya, dari 132 s.d. 232 H.
2.       Masa berkuasanya panglima-panglima Turki, berjalan 100 tahun lamanya, dari 232 s.d. 334 H.
3.       Masa berkuasanya Bani Buyah (Buwayhid), berjalan 100 tahun lamanya, dari 334 s.d. 447 H.
4.       Masa berkuasanya bani saljuk (Saljukyak), berjalan 100 tahun lamanya, dari 447 s.d. 530 H.
5.       Masa gerak balik kekuasaan politik khalifah-khalifah Abbasiyah dengan merajalelanya para panglima perang, selama 125 tahun, dari 530 H. sampai musnahnya Abbasiyah di bawah serbuan Jengiz Khan dan putranya Hulagu Khan dari tartar pada tahun 656 H.

kedua periodesasi di atas, pada dasarnya sama dan tidak signifikan. Untuk memudahkan pembahasan, periode Abbasiyah ini kita bagi menjadi empat tahap, yaitu pendirian, kemajuan, kemunduran, dan kehancuran.

C.    Pendirian dan pembentukan Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah didirikan secara revolusioner dengan menggulingkan dinasti Umayyah. Terdapat beberapa factor yang mendukung keberhasilan pembentukan dinasti ini. diantaranya adalah : meningkatnya kekecewaan kelompok mawali terhadap dinasti Umayyah, pecahnya persatuan suku-suku bangsa Arab, dan timbulnya kekecaewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka memiliki pemimpin kharismatik.
Kelompok mawali, yaitu orang-orang non Arab yang telah memeluk agama Islam, diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara itu bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Mereka tersingkir dalam urusan pemerintahan dan dalam kehidupan social, bahkan para penguasa Arab selalu memperhatikan sikap permusuhan terhadap mereka.[3]
Golongan Agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan Bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik.
Perpecahan antarasuku-suku bangsa Arab muncul kembali selama pemerintahan bani Umayyah. Pecahnya persatuan ini setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab Utara yakni kelompok Mudariyyah dengan kesukuan Arab selatan yakni kelompok Himyariyah. Juga yang lebih penting adalah bangkitnya gerakan Hasyimiyah. Selain  itu, perlawanan dari kelompok Syi’ah juga merupakan factor yang sangat berperan. Kelompok ini tidak pernah melupakan ragedi Karbala dan juga perlakuan keejam penguasa pemerintah Bani Umayyah terhadap keturunan Ali. [4]
Faktor-faktor tersebut di atas pada satu sisi mendukung jatuhnya kekuasaan dinasti Umayyah, dan pada sisi lainnya sekaligus menddukung keberhasilan gerakan pembentukan dinasti Abbasiyah.
Pada masa akhir kekuasaan dinasti Umayyah, sekitar pertengahan abad ketujuh terjadi sejumlah pemberontakan diseluruh wilayah negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat terjadi di Khurasan. Puncak dari segala pemberontakan ini adalah terjadi peperangan antara kekuatan Abul Abbas melawan pasukan Marwan II. Pasukan Syria pimpinan Marwan berhasil ditaklukkan oleh pasukan Abul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syria, khususnya dengan jatuhnya kota Damaskus berakhirlah riwayat dinasti Umayyah dan bersamaan dengan itu bangkitlah kekuasaan Bani Abbasiyah yang berusaha membuka lembar baru sejarah Islam.
Awal masa kekuasaan dinasti bani Abbas diawali dengan pembangkangan yang dilakukan oleh dinasti umayah di Andalusia. Di satu sisi abdur Rohman al-daklil bergelar Amir (jabatan kepala wilayah ketika itu) sedang di sisi lain, ia tidak tunduk pada Kholifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abdur Rohman al-daklil terhadap bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Ali bin Abi Tholib.
Kekuasaan dinasti Abbasiyah, atau khalifah Abbasiyah sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan bani Umayyah. Dinamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Shaffah ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Abbas. [5] 
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social, dan budaya. Dari segi durasi, kekuasaan dinasti Bani Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima abad (133- 656 H/ 750- 1258 M), dan masa pemerintahan bani Abbas di bagi menjadi beberapa fase, berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politiknya, hal ini sebagaimana keterangan periodesasi di atas.
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka olleh Abu Al-Abbas (750-754) yang berperan sebagai pelopor. Irak menjadi panggung drama besar itu. Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumnya di masjid Kufah, Khalifah Abbasiyah pertama itu menyebutkan dirinya As-Shiffah, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk karena dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. Dinasti Abbasiyah yang berusia cukup tua itu (750 M – 1258  M) merupakan dinsati ketiga setelah khulafaurrasyidin dan dinasti Umayyah, namun masa pemerintahan As-Shaffah begitu singkat, ia meninggal (754-775 M) karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.[6]   
Saudaranya yang juga penerusnya, Abu Ja’far (754-775), yang mendapat julukan Al-Manshur adalah dinasti terbesar dinasti Abbbasiyah. Meskipun bukan seorang muslim yang shaleh, dialah sebenarnya – bukan As-Shaffah – yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah yang berjmlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Sehingga agak terang keterangan ini, bahwa masa kejayaan Abbasiyah terletak pada khalifah settelah As-shaffah. Ada sedikit perbedaan dalam menentukan jumlah khalifah yang mmasuk dalam kategori pembawa Golden Prime (masa keemasan), Philip K. Hitty misalnya, dia mengatakan bahwa masa keemasan Abbasiyah terletak pada 10 Khalifah, [7] hal ini berbeda dengan Badri Yatim yang hanya memasukkan 7 Khalifah sebagai masa kejayaan Abbasiyah[8], Jaih Mubarak memasukan 8 khalifah[9], sementara Harun Nasution hanya memasukkan 6 Kkahlifah ke dalam kategori sbagai khalifah yang memajukan Abbasiyah[10].
Kesepuluh khalifah tersbut; 1) As-Shaffah (750); 2) Al-Manshur (754); 3) Al-Mahdi (775); 4) Al-Hadi (785); 5) Ar-Rasyid (786); 6) Al-Amin (809); 7) Al-Makmun (813); 8) Al-Mu’tashim (833); 9) Al-Watsiq (842); 10) Al-Mutawakkil (847)
Dinasti Abbasiyah seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mancapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan Baghdad yang didirikan oleh As-Shaffah dan Al-Manshur mencapai masa keemasan antara masa khalifah ketiga, Al-Mahdi, dan khlaifah kesembilan, Al-Watsiq, dan lebih khusus lagi pada masa Harun As-Rasyid dan anaknya Al-Makmun, karena kehebatan dua khalifah itulah dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan public, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam.[11]  

D.    Kemajuan/ Masa Keemasan Imperium Abbasiyah

Pada periode pertama pemerintah bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembbangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. namun setelah periode inni berakhir, pemerintah bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik meskipun Filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini, sangat singkat yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. karena itu Pembina sebenarnya dari daulah Abbasiyah adalah  Abu Ja’far al-Manshur (754 – 775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. [12]  
Masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat Islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mecakup semua aspek kehidupan:
1        Administratiff pemerintah dengan biro-bironya;
2        System organisasi militer;
3        Administrasi wilayah pemerintahan;
4        Pertanian, perdagangan, dan industri;
5        Islamisasi pemerintahan;
6        Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi matematika, geografi, histeografi, filsafat Islam, teologi, hukum (fiqh), dan etika Islam, sastra, seni, dan penerjemahan;
7        Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah dan perguruan tinggi; perpustakaan dan took buku, media tulis, seni rupa, seni musik, dan arsitek.[13]

Rincian dari berbagai kemajuan tersebut, Dedy Supriyadi mengutibkan temuan dari Philip K. Hitti, sebagai berikut:
1.      Biro-Biro Pemerintahan Abbasiyah
Dalam menjalankan system teknis pemerintahan, Dinasti Abbasiyah memiliki kantor pengawas (Dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh Al-Mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-tawqi) yang mennangani semua surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan ; depertemen kepolisian dan pos. Dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejjenis penggadilan tingkat banding, ata pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik.[14]  

2.      Sistem Militer
System militer terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan pengajaran secara regular. Pasukan pengawal Khalifah (hams) mungkin merupakan satu-satunya pasukan tetap yang masing-masing mengepalai sekelompok pasukan. Selain mereka ada juga pasukan bayaran dan sukarelawan, serta sejumlah pasukan dari berbagai suku dan distrik. Pasukan tetap (jund) yang bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan yang dibayar secara berkala oleh pemerintah). Unit pasukan lainnya disebut muta-tawwi’ah (sukarelawan), yang hanya menerima gaji ketika bertugas. Kelompok sukarelawan ini direkrut dari orang badui, para petani, dan orang kota. Pasukan pengawal istana memperoleh bayaran lebih tinggi, bersenjata lengkap dan berseragam. Pada masa-masa awal pemerintah khalifah dinasti Abbasiyah, rata-rata gaji pasukan infentri, di samping gaji dan santunan rutin sekitar 960 dirham per tahun, pasukan kavaleri menerima dua kali lipat dari itu.[15]
  
3.      Wilayah Pemerintahan
Pembagian wilayah kerajaan Umayyah ke dalam provinsi yang dipimpin yang dipimpin oleh seorang gubernur (tunggal amir atau ‘amil) sama dengan pola pemerintahan pada kekuasaan Bizantium dan Persia. Pembagian ini tidak mengalami perubahan berarti pada masa dinasti Abbasiyah. Provinsi Dinasti Abbasiyah mengalami perubahan dari masa ke masa, dan klasifikasi politik juga tidak selalu terkait dengan klasifikasi geografis seperti yang terekam dalam karya Al-Ishthakhri, Ibnu Hawqal, Ibn Al-Faqih, dan karya-karya sejenis. Berikit ini merupakan provinsi-provinsi utama pada masa awal kekhalifaan Baghdad:
a.       Afrika diseblah barat gurun Libya bersama dengan Sisilia,
b.      Mesir
c.       Suriyah dan Pelestina, yang terkadang dipisahkan.
d.      Hijaz dan Yamamah (Arab tengah)
e.       Yaman dan Arab selatan
f.       Bahrain  dan Oman dengan Bashrah dann Irak sebagai ibu kotanya
g.      Sawad atau Irak (Mesopotamiyah bawah), denagn kota utamanya setelah Baghdad, yaitu Kufah dan Wash,
h.      Jazirah (yaitu kawasan Assyiria Kuno, bukan semenanjung Arab), dengan ibu kotanya Mosul,
i.        Azerbaijan, dengan kota-kota besarnnya, seperti Ardabil, Tibriz, dan Maraghah
j.        Jibal (perbukitan Madina Kuno), kkemudian dikenal dengan Irak Ajami (Iraknya orang Persia), dengan kota utamannya adalah Ramadan.[16]    

4.      Perdagangan dan Industri
Sejak masa khalifah kedua Abbasiyah, Al-Mansur, sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan mmaritim Arab dan Persia dengan India dan Cina berasal  dari laporan perjalanan sulaiman At-Tajir dan para pedagang Muslim lainnya pada abad ke-3 Hijriyah. Tulang punggung perdagangan ini adalah sutra, kontribusi terbesar orang Cina kepada dunia barat.
Di sebelah barat, para pedagang Islam telah mencapai Maroko dan Spanyol. Pada masa Abbasiyah juga orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur barus, dan sutra dari kawasan Asia yang lebih jauh, juga mengimpor daging, kayu eboni dan budak kulit hitam dari Afrika.
Tinkat aktivitas perdagangan semacam ini didukung oleh pengembangan industri rumah tangga  dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai plosok kerajaan.  Daerah Asia barat menjadi pusat industri karpet, sutra, kapas, dan kain wol, satin, brokat (dibaj), sofa (dari bahasa Arab Suffah), dan kain pembungkus bantal, juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Pusat industri karpet di Baghdad yang dikenal dengan ‘Attab (diambil dari nama seorang pangeran Umayyah) juga sangat pesat perkembangannya. [17]          

5.      Perkembangan Bidang Pertanian
Bidang pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan Negara dan pengolahan tanah hampir sepenuhnya dikelolah oleh penduduk asli yang statusnya mengalami peningkatan pada masa rezim baru. Lahan-lahan perttanian yang terlantar dan desa-desa yang hancur di berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap. Daerah rendah di lembah Tigris-efrat, yang merupakan daerah terkaya setelah Mesir, dan dipandang sebagai surga Aden, mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat.    
Sementara di Irak dan Mesir, yang dilakukan adalah mengaktifkan kembali jaringan kanal lama. Bahkan, sebelum perang dunia pertama, Sir William Willcock yang ditugaskan oleh pemerintah Utsmani  untuk menggaji persoalan irigasi di Irak, merekomendasi untuk membuka lagi aliran sungai yang lama, dari pada membangun kanal-kanal baru.
Tanaman asli Irak terdiri atas gandum, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Daerah yang paling subur berada di bantaran tepian sungai ke selatan, Sawad, yang menumbuhkan berbagai jenis buah dan sayuran yang tumbuh di daerah panas maupun dingin. Kacang, jeruk, terong, tebu, dan beragam bunga, seperti bunga mawar dan violet juga tumbuh di sana.[18]  

6.      Islamisasi Masyarakat
Sebanyak 5000 orang Kristen banu tanukh di dekat Allepo mengikuti perintah khalifah Al-Mahdi untuk masuk Islam. proses konfersi secara normal berjalan lebih gradual, damai dan bersifat pasti. Kebanyakan konversi yang dilakukan oleh penduduk taklukan didorong oleh motif kepentingan individu, agar terhindar dari pajak dan sejumlah aturan lain yang membatasi, agar mendapat prestise social dan pengaruh politik serta menikmati kebebasan dan keamanan yang lebih besar. [19]

7.      Lahirnya Tokoh Intelektual Muslim
Pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, Baghdad menjadi pusat kegiatan intelektual, musik, puisi, kesusastraan dan filsafat mulai berkembang.[20] Zaman keemasan khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan ini, Jazi Zaldan melukiskan masa daulah Abbasiyah IV, karena pada masa tersebut ilmu pengetahuan telah matang, kitab-kitab bermutu telah banyak dikarang.[21] Dari ijtihad dan semangat riset, maka para ahli ilmu pengetahuan, para alim ulama, berhadil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan keahlian bidang-bidang ilmu pengetahuan.
           
a.       Para Ilmuan Bidang Filsafat
1)      Al-Kindi (194-260 H/ 809-875 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2)      Al-Farabi, (wafat tahun 390 H/916 M) orang menyebutnya Al-Farobius, karangannya yang masih tinggal 12 judul.
3)      Ibnu Bajjah (wafat tahun 523 H)
4)      Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
5)      Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M) disamping seorang filiosof juga seorang dokter dan ahli musik. Diantara kitab karangannya adalah shafa, 18 jilid, Najad, Qonun, Sadidiyah 5 jilid, dll
6)      Al-Gahazali, (250-505 H/1058-1101 M) digelari sebagai Hujjatul Islam, buku karangannya berjumlah 70 judul.
7)      Ibnu Rusyd, (520-595 H/1126-1198 M) di barat dikenal Oveoes. Diantara buku karangannya adalah Mabadiul falasifah, Kulliyat, Tafsir Urjuja, dll.[22]

b.      Bidang Kedokteran
Nama paling terkenal dalam catatan kedokteran Arab setelah Ar-Razi adalah Ibn Sina (Aviecenna, yang masuk ke bahasa Latin melalui bahasa Ibrani, Aven Sina, 980-1037), yang disenut oleh orang Arab sebagai As-Syaikh Ar-Ra’is, “pemimpin” (orang pelajar) dan “pengeran” (para pejabat). Ar-Razi lebih menguasai kedokteran dari pada Ibn Sina, sedangkan Ibn Sina lebih menguasai Filsafat dari pada Ar-Razi. Dalam diri seorang dokter, filosof, dan penyair inilah, ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi.
Di antara karya-karya ilmiyahnya, dua buku yang paling unggul adalah As-Syifa’ (buku tentang penyembuhan), sebuah buku ensiklopedia filsafat yang didasari atas tradisi Aristotelian yang telah dipengaruhi oleh Neo-Platonisme[23] dan teologi Islam, serta Al-Qonun fi Ath-Thibb, yang merupakan kodifikasi pemikiran kedokteran Yunani-Arab. Teks berbahasa Arab dari buku Al-Qonun diterbitkan di Roma pada 1593, dan kemudian menjadi salah satu buku berbahasa Arab tertua yang pernah diterbitkan.[24]
Beberapa perguruan tinggi yang terkenal antara lain :
1)      Sekolah tinggi kedokteran di Yunda Shapus.
2)      Sekolah tinggi kedokteran di Hirran, Syeria
3)      Sekolah tinggi kedokteran di Baghdad.
Para dokter dan kedokteran Islam yang terkenal antara lain:
1)      Jabir Ibnu Hayyan, (wafat tahun 161 H/778 M.), sebagai bapak ilmu kimia
2)      Hunain Ibnu Ishaq, (194-264 H/810-878 M.), ahli mata yang terkenal.
3)      Abib Al-Qurra, (221-228 H/836-901 M.)
4)      Ar-Raji (251-313 H/809-873 M)[25]

c.       Bidang Matematika
Para ahli ilmu tersebut salah satunya adalah al-Khawarizmi, pennemu angka nol. Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi  adalah seorang ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi yang berasal dari Persia. Lahir sekitar tahun 780 di Khawarizm (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850.  
Buku peertamanya, Al-Jabar, adalah buku pertama yang membahas solusi sistematik dari linier dan notasi kuadrat. Sehingga ia disebut sebagaibapak Aljabar. Kata logarisme dan logaritma diambil dari kata Algorismi, Latinisasi dari nama beliau. Nama beliau juga diserap dalam bahasa Spanyol Goarismo dan dalam bahasa Portugis Algarismo yang berarti digit.[26]  

d.      Bidang Ilmu Kimia
Bapak ilmu kimia ialah Jabir Ibn Hayyan yang berkembang di Kufah sekitar tahun 776 M.  sterlah Ar-Razi nama Jabir Ibn Hayyan adalah nama yang terbesar dalam bidang kimia dalam abad pertengahan ini. seperti para pendahulunya orang Mesir dan Yunani, Jabir bertolak dari satu asumsi bahwa metal dasar seprti timah, timah hitam, besi dan tembaga dapat ditransfusikan (pemindahan atau pemasukan) menjadi emas atau perak karena adanya satu substansi yang misterius. Selain itu ia juga memberi petunjuk lanjutan pengetahuan modern tentang evaporation (penguapan), filtration (penyaringan), sublimation (penghalusan), melting (pencairan), dll, semua telah diuji kebenarannya.[27]  

e.       Bidang Seni Ukir  
Dalam bidang ini umat Islam cukup terkenal dengan hasil seninya pada botol tinta, papan catur, paying, Vas, burung-burungan, pohon-pohonan. Beberapa seniman ukir terkenal antara lain Badr dan Tariff.[28]

f.       Pendidikan, Perpustakaan, dan Toko Buku
Lembaga pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al-Hikmah (umah kebijakan) yang didirikan oleh Al-Ma’mun (830 M.) di Baghdad, ibu kota Negara. Selain berfungsi sebagai biro penerjemah, lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kkajian akademis dan perpustakaan umum serta memiliki sebuah observatorium. Pada saat itu, observatorium- observatorium yang banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat pembelajaran astronomi.[29]  
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang semua buku-bukunya disusun di atasa lemari-lemari, didaftar dalam catalog, dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Basrah memiliki sebuah perpustakaan yang didalamnya para sarrjana bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan.
Selain perpustakaan, gambaran tentangg budaya baca pada periode ini bisa dilihat dari banyaknya took buku. Took-toko itu, yang juga berfungsi sebagai agen pendidikan, mulai muncul sejak awal kekhalifaan Abbasiyah Al-Ya’qub meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891) ibu kota Negara diramaikan oleh lebih dari 100 toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama.   Sebagian took tersebut, sebagaimana toko-toko yang muncul di Damaskus dan Kairo.[30]          

Pengaruh dari kebudayaan bangasa yang sudah maju tersebut, terutama melalu gerakan terjemah bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan umum, tetapi juga membbawa pengaruh yang besar bagi ilmu pengetahuan agama.

a.       Dalam Bidang Tafsir
Sejak awal sudah dikenal dua metode, yaitu Tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi[31] kedua metode ini berkembang pada masa bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa dengan metode bi al-ra’yi sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.

b.      Bidang Ilmu Fiqh dan Teologi
Sebagaimana bidang tafsir, perkembangan ilmu Fiqh dan terutama ilmu teologi juga dipengaruhi oleh perkembangan logika dikalangan umat Islam saat itu.
Imam-imam madzhab yang empat juga hidup pada masa bani Abbasiyah pertama. Imam abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang ter jadi di Kufah. Karena itu madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran Rasional dari pada Hadis.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan Hadis dan Tradisi masyarakat Madinah. Pendapat kedua tokoh madzhab itu ditengahi oleh Imam Syafi’I (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hambal (780-855 M).[32]
Aliran Teologi pada dasarnya sudah ada pada masa bani Umayya, seperti Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Penyempurnaanya baru terlihat pada masa bani Abbasiyah.
Dari sekian gambaran masa keemasan Dinasti Abbasiyah tersebut di atas, tentu memiliki beberapa faktor penyebab keberhasil tersebut, diantaranya:
1.      Islam makin meluas, tidak di Damaskus tetapi di Baghdad.
2.      Orang-orang di luar Islam dipakai untuk menduduki institusi pemerintahan.
3.      Pemerintah Abbasiyah membentuk tim penerjemah bahasa Yunani ke bahasa Arab.
4.      Sebagian penerjemah memberikan pendapatnya.
5.      Rakyat bebas berfikir serta memmperoleh hak asasinya dalam segala bidang.
6.      Adanya perkembangan ilmu pengetahuan.
7.      Dalam penyelenggaraan Negara dalam masa Bani Abbas ada jembatan Wazir.
8.      Ketentuan professional baru terbentuk pada masa pemerintahan bani Abbas.[33]

Dari keterangan di atas nyatalah bahwa peradaban Islam pada masa Abbasiyah bersifat internasional dan kosmopolitan, sudah meliputi tiga benua, berpuluh-puluh bangsa dari kebudayaan yag unsurnya berasal dari berbagai kebudayaan. Semua sumber keilmuan, arsitektur, administrasi, hingga mistik, semuanya dileburkan di bawah naungan kekuasaan Islam menjadi satu kesatuan, dibingkai oleh bahasa Arab dan nilai-nilai Islam.[34] 
  
E.     Masa Disintegrasi (1000-1250 M.)/Kemunduran Imperium Dinasti Abbsiyah

Berikut ini adalah factor-faktor penyebab kemunduran bani Abbasiyah:
  1. Faktor Intern[35]
a.       Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada pendahunlunya. Kondisi in memberi peluang kepada tentara professional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintah.      
b.      Perebutan kekuasaan diantara keluarga Bani Abbas
Perebutan kekuasaan dimulai sejak masa Al-Ma’mun dan Al-Amin. Ditambah dengan masuknya unsure Turki dan Parsi. Setelah Al-Mutawakkil wafat, pergantian khalifah terjadi secara tidak wajar dari kedua belas khalifah pada periode kedua dinasti Abbasiayah hanya empat orang yang wafat dengan wajar. Selebihnya para khalifah itu wafat karena dibunuh atau  diracun untuk diturunkan secara paksa.   

Jumat, 22 April 2011

LOWONGAN TERBARU MEI 2011

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

HADIRILAH GRAND FFS YOGYAKARTA
TEMUKAN PEKERJAANN BARUMU YANG LLEBIH PRODUKTIF DISINI...!

“ Spirit DBS : GO FIGHT WIN “
Waktu  : Minggu, 8 Mei 2011, Pukul. 19.00-selesai
Tempat : Gedung Auditorium Lembaga Pendidikan Perkebunan ( LPP )
               Jl. Urip Sumoharjo No 100 Yogyakarta
PEMBICARA UTAMA :
- Bp Dindin Saputra ( Platinum Termuda Indonesia ), dari seorang Santri yang serba kekurangan berkat kerja cerdasnya bersama PT DBS < 2 thn saja, namun kini telah menjadi Milionare Indonesia dan telah berpenghasilan > 1 Milyar Rupiah, beliau telah memiliki 1 Unit rumah, 1 mobil sport Celica, 1 motor sport Ninja 250, menikah dari hasil DBS, serta tour ke Singapore.
EXCLUSIVE SUCCES STORY :
- Bpk. Ir. Randu Sekti Wibowo ( Double Emerald ), seorang anak muda kelahiran SOLO, baru lulus kuliah di ITB tahun ini namun kini telah berpenghasilan > 500 jt/bln dan telah memiliki 3 mobil sport ( mobil mewah Mercy SLK 200, Mobil Sport Celica, Mobil Sport Ferrari ), 6 rumah, 2 kos-kosan, 1 apartemen, SEMUA CASH KERAS.
GUEST SPEAKER :
- Bp Margono ( Direktur PT DBS )

Exclusive Power Motivation :
- Bp Rifki Ali Hamidi ( Bronze Ent ), seorang Motivator Muda & Mentor bisnis Network Marketing yang telah membina mitra lebih dari 9.000 orang yang tersebar diseluruh Indonesia.
Dihadiri :
- Bp Mamad Umiyarso (Double Gold Ent) dari kota SOLO, menjalankan DBS <3thn saja telah memiliki total penghasilan >2 Milyar Rupiah
- Seluruh TOP LEADER YOGYAKARTA
MC YOGYA : Bp. Muhammad Musa Isa ( Group Leader )

- HTM : Rp 15.000,-
             Rp 20.000,- ( Ticket Box )
*Pembelian 10 lembar ticket @ Rp 12.500,-/Ticket
*Pembelian 50 lembar ticket @ Rp 10.000,-/Ticket
 Contact Person :M. ALFITHRAH ARUFA  ( 081 33 22 19 181 )

Demi Tuhan Yang Maha Esa...
Untuk Keluarga Tercinta...
Untuk PT DFI & PT DBS...
Apapun Resikonya : GO !!! FIGHT !!! WIN !!!

Kamis, 31 Maret 2011

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

AL-GHAZALI (450-505 H) :
Kajian Filsafatnya Terhadap Pendidikan Islam

Oleh : M. Alfithrah Arufa, S.Pd.I


A.    Pendahuluan
FALSAFAH, Sebagai hasil pemikiran para filosof, proses pertumbuhan filsafat dalam rentang waktu yang dilaluinya telah melahirkan berbagai macam pandangan. Terkadang pandangan tersebut bersifat saling mendukung, tetapi tak jarang pula yang saling bertentangan. Hal ini dapat dimaklumi karena hasil pemikiran seorang filosof bukan merupakan komponen yang dapat berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pendekatan yang dipakai serta situasi dan setting social yang pemikiran filosof tersebut dilahirkan.
Rangkaian kata yang secara tata bahasa disandarkan pada pemaknaan cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan atau kebenaran itu, telah menjadi suatu kajian yang mau tidak mau harus merangkul berbagai system dan kajian ilmu pengetahuan di muka bumi ini. upaya mencari kebenaran bisa dikatakan masih relative, sebab masih ada ketergantungan dari faktor ruang dan waktu. Ini tidak berlebihan untuk dikatakan sebuah “polemik benang kusut” yang terus diupayakan terurai dengan serapi-rapi mungkin melalu kajian keilmuan yang mumpuni. “Cukup rumit, karena masing-masing kelompok bangga dengan anutannya sendiri”[1] 
Dalam dunia pendidikan, selagi kita masih bertanya : ”mengapa kita mengajar/belajar? Bagaimana kita mengajar/belajar? Selama itu pendidikan akan tetap sangat memerlukan filsafat.[2] Filsafat pendidikan merupakan kegiatan-kegiatan pemikiran yang sistematis, diambil dari system filsafat sebagai carauntuk mengatur dan menerangkan nilai-nilai tujuan pendidikan yang akan dicapai (direalisasikan), begitulah pendapat yang dipaparkan oleh Ali Khalil Abu ‘Ainaini.
Filsafat pendidikan Islam memiliki pengertian yang menghususkan kajian pemikiran-pemikiran yang menyeluruh dan mendasar tentang pendidikanberdasarkan tuntunan ajaran islam.[3] Pendidikan bukan hanya pengajaran tetapi juga merupakan semacam pembaharuan. Pendidikan menentukan criteria yang akan menjadi acuan semua kegiatan atau proses di masa berikutnyasebagai suatu prestasi. Hal ini tentu tidak bisa terlepas dari arti pengasaan moralyang menjadikan seseorang matang secara moral dan intelektual, keperibadian yang menunjang dirinya.
Imam al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi, dan praktisi pendidikan di dunia Muslim. Kecendikiaan dan kedudukannya tidak dapat diragukan lagi. Hal ini menunjukan bahwadia adalah seorang yang sangat hebat dan fundamental, tegas, dan ortodoks dalam arti kata yang positif.
Ghazzali telah berhasil memungut benang filsafat dari bermacam-macam sumber, merampingkan, dan mmenanaminya dengan roh kebenaran Islam dan kesadaran dinamika sejarah. Dalam filsafatnya, pendidikan, etika, dan kesadaran itu  adalah manunggal.[4] Bagaimanakah penerapan filsafat al-Ghazali ini pada zaman sekrang ini? masih perlukah atau tidak dalam dunia pendidikan kita ?

B.     Riwayat Hidup Singkat Al-Ghazali
IMAM AL-GHAZALI, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Tusi, al-Imam al-Jalil Hujat al-Islam. Ia lahir pada tahun 450 H. bertepatan dengan 1059 M. di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Tus, wilayah Khurasan. dan wafat di Tabristan wilayah propinsi Tus pada tanggal 14 jumadil Akhir 505 H. bertepatan dengan 1 Desember 1111 M. ia dijuluki abu Hamid karena mempunyai putra bernama Hamid yang meninggal sewaktu masih kecil. Tidak ada yang menyebutkan silsilah nenek moyang al-Ghazali lebih dari 3 orang yang namanya berbahasa arab. Apakah ia dari etnis persi atau Arab masih diperselisihkan, dan berakhir pada kesimpulan yang tidak pasti.[5]
Ia terkenal dengan sebutan “Al-Gazzali” (dobel “z”), dan kadang disebut “Al-Ghazali” (satu “z”). Tidak diketahui banyak tentang keluarga Al-Ghazali. Abd al-Gafir hanya menyebut nama ayah, Muhammad dan nama kakek Muhammad. Ibn Khalikan menembah nama datuk, Ahmad. Subki dan Murtada memberi informasi lebih banyak, yaitu bahwa ayah  Al-Ghazali, Muhammad, adalah seorang penenun bulu domba atau woll (Ghazzal)[6] dan menjuanya di pasar Tus. Ia wafat ketia AGhazali diduga berusia 6 tahun. Tetapi, ibunya sempat menyaksikan ketika bintang Al-Ghazali mulai menanjak dan namanya mulai popular di mata orang banyak.[7]     
Di tanah kelahirannya, Tus, Al-Ghazali memulai pendidikannya dan belajar sejumlah ilmu pengetahuan, terutama dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu, kedua kota tersebut terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. di kota Nisyafur inilah al-Ghazali berguru kepada Imam Al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwainy (w. 1085 M./ 1474 H.), seorang ulama yang bermadzhab syafi’I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.[8] Walau demikian, sebenarnya hidup dan ajaran ayahnya mempunyai pengaruh yang positif bagi pola pikir di masa kecilnya, dialah guru pertama bagi pendidikannya yang dikenal sebagai sufi yang shaleh.[9]
Di antara ilmu yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang  kemudian  mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiyahnya di kemudian hari. Hal ini terlihat dari karya-karyanya yang dibuat dalam berbagai bidang dalam ilmu pengetahuan. Dalam ilmu kalam Al-Ghazali menulis buku berjudul Ghayah al-Maram fi Ilm al-Kalam (Tujuan mulia dari llmu kalam). Dalam bidang tasawuf dan fiqh ia menulis buku Ihya’ Ulum ad-Din (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), dalam ilmu hukum Islam ia menulis kitab al-Musytasyfa’ (Yang menyembuhkan), dan Dallam ilmu filsafat ia menulis Maqasid al-falasifah (Tujuan dari Filsafat) dan Tahafut al-Falasifah (Kerancauan dari Filsafat).[10]
Karena demikian banyak keahlian yang secara prima dikuasai al-Ghazali, maka tidaklah mengherankan jika kemudian ia mendapatkan bermacam gelar yang mengharumkan namanya, seperti gelar hujjah al-Islam (Pembela islam), Syaikh al-Sufiyyin (Guru besar dalam tasawuf), dan Imam al-Murabbin (Pakar bidang pendidikan). Selama tinggal di Baghdad, al-Ghazali meniti karir Akademiknya hingga mencapai kesuksesan, dan mengantarkannya menjadi seorang tokohterkenal di saentero Irak  dan selama 4 tahun, ia mengajar sekitar 300-an siswa-ulama.[11]
Di antara karya-karya al-Ghzali adalah al-Basith, al-Waqiz, Khulasah ‘ilm Fiqh, al-Munqiz fi ‘ilm al-Jadal, Ma’khaz al-Kalam, Lubab al-NNazar, Tahsin al-Ma’akhidz, dan Mawwad wa al-Ghayat fi fan al-Khalaj. Dan ditambah lagi pemikiran pendidikan al-Ghazali dalam tiga buku kaangannya, yaitu Fatihah al-Kitab, Ayyuh al- Walad, Ihya’ ‘Ulumuddin.[12]
Maqasid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah merupakan dua karya fenomenal al-Ghazali dalam bidang filsafat, hal ini menujukan penguasaannya dalam bidang filsafat. Dua kitab pemikiran filsafat tersebut sebenarnya bertujuan untuk menunjukan berbagai kesesatan atau inkoherensi dalam filsafat itu sendiri. reputasinya di bidang filsafat ini menembah tenar popularitasnya, sebab ketika itu belum pernah ada seorang teolog pun yang mampu menghantam pemikiran para filosof dengan dengan senjata mereka sendiri. dalam pada itu, kendati al-Ghazali tampak banyak mencurahkan perhatiannya pada filsafat, ia masih tetap mendalami bidang fiqh dan kalam bahkan juga menghasilkan karya-karya berkualitas dalam bidang-bidang yang lainnya.[13]   
Namun disaat popularitasnya sedang melangit dan mencaapai keemasan puncak, al-Ghazali secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad beserta dengan segala ketenaran, kemewahan, bahkan keluarganya. Hal ini terjadi pada tahun 1095-1097. selama dua tahun al-Ghazali mencoba menjalani disiplin Asketik (Ajaran teologi mengenai akhir zaman seperti hari kiamat, kebangkitan segala manusia, dan surga) serta menjalankan praktik keagamaan yang sangat keras di salah satu menara masjid Umayyah di Damaskus. Selai itu al-Gazali juga melakukan pengembaraan di berbagai tempat, terutama tempat keramat dan masjid-masjid, padang pasiir ttandus, bahkan ia dilaporkan telah mengunjungi pula Kairo dan Aleksandria.[14]  
Setelah ia mencapai tingkat tertinggi dari realitas spiritual, al-Ghazali merenungkan dekadensi moral dan religius pada masyaakat muslim kala itu, dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke masyarakat lebih-lebih ada permintaan langsung dari wazir Saljuk Fakr al-Mulk. Tidak lama di Nisabur (3 Tahun) al-Ghazali kembali ke rumahnya di Tus. Dia menulis otobiografinya, al-Munqiz, dan sebuah karya tentang teori hukum, al-Mustasfa di Tus, kemudia ia mendirikan madrasah bagi pengkaji ilmu-ilmu religius, dan Khanaqah bagi para sufi. Setiap saat diisi dengan belajar, mengajar, dan pencerahan hingga ia wafat.[15]

C.    Pemikiran pendidikan Al-Ghazali
SISTEM PENDIDIKAN al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga ia dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failusuf al-Mutasawwifin)[16]. Sehingga bisa ditarik sebuar deskripsi bahwa dua corak ilmu yang telah berpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam system pendidikannya.
Ciri khas system pendidikan al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religius dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.[17]

1.      Peranan pendidikan
Menuru Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Ghazali termasuk ke dalam golongan sufistik yang banyak menaruh perhatian besar terhadap pendidikan, karena pendidkan banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa. [18]
Sementara itu H.M. Arifin, seorang guru besar dalam b idang pendidikan mengatakan, bila  dipandang dari segi filosof, al-Ghazali adalah penganut paham idealisme[19] yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. Dalam masalah pendidikan al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme[20]. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantng kepada orang tua yang mendidiknya. Seorang anak hatinya bersih dari gambaran apapun. Jika anak menerima ajaran dan kebiasaanh hidup yang baik, maka ia akkan baik. Sebaliknya jika anak dibiasakan perbuatan buruk dan jahat, maka ia akan berakhlak jelek.[21] Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW yang menegaskan :
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه او يمجسانه
Setia anak yang dilahirkan dalam kedaan bersih, kedua orang tualah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi,  Nasrani, atau Majusi.
(H.R. Muslim)

Sejalan dengan hadist tersebut, al-Ghazali mengatakan jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk, dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahad, maka anak itu akan berakhlak jelek. Pentingnya pendidikan ini didasarkan kepada pengalaman hidup al-Ghazali sendiri, yaitu sebagai orang yang tumbuh mnejadi ulama besar yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan, yang disebabkan karena pendidikan.[22] 


2.      Tujuan Pendidikan
Setelah menjelaskan peranan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan tujuan pendidikan. Menurutnya, Tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.[23]
Rumusan tujuan pendidikan yang demikian itu sejalan dengan firman Allah SW tentang penciptaan manusia, yaitu ;
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. Al-Dzariyat : 56)

Bagi al-Ghazali, yang dikatakan orang yang berakal adalah sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuuan akhirat, sehingga derajatnya lebih tinggi di hadapan Allah dan lebih kebahagiaanya i akhirat. Ini menunjukan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.[24] Hal ini dipahami al-Ghazali berdasarkan isyarat al-Qur’an :
4... $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ  
“Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
(Q.S. al-Hadid : 20)
äotÅzEzs9ur ׎öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$# ÇÍÈ  
“Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) [25] (Q.S. al-Dhuha : 4)

Ahmad Syar’i menambahkan tujuan pendidikan bagi al-Ghazali, menurutnya, tujuan pendidikan menurut al-Ghazali di bagi dalam dua tujuan, yaitu ; jangka pendek dan jangka penjang. Tujuan pendidikan (jangka pendek) menurut al-Ghazali adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemempuannya. Syarat mencapai tujuan itu, manusia harus memanfaatkan den mengembagkan ilmu pengetahuan sesuai dengan bakatnya.[26]   
Berhubungan dengan tujuan jangka pendek ini, al-Ghazali menyinggung masalah pangkat, keduudukan, kemegahan, popularitas, dan kemuliaan dunia secara naluri. Semua itu bukan menjadi tujuan dasar seseorang yang melibatkan dari dalam dunia pendidikan.
Adapun tujuan pendidikan (jangka panjang), menurut al-Ghazali adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan, kegagahan, atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Jika tukang pendidikan bukan diarahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan.[27]    

3.      Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana disebut di atas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri tersebut adalah :
a.       Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri
b.      Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai “tujuan utama” dari pekerjaannya (mengejar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Muhammad Saw. sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknaya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c.       Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau untuk mencapai keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
d.      Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bbermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
e.       Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, berjiwa halus, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpunyi lainnya.
f.       Guru harus mengajarkan pelajran yang sesuai dengan dengan intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
g.      Guru harus mengamalkan yang diajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak didiknya.
h.      Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga disamping tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
i.        Guru harus dapat menanamkan keimanan ke dalam pribadi anak didiknya, sehingga akal pikiran anak didiknya tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.[28]     
Jika tipe ideal yang dikehendaki al-Ghazali tersebut di atas di lihat dari perspektif guru sebagai profesi nampak diarahkan pada aspek moral dan kepribadian guru, sedangkan aspek keahlian, profesii, dan penguasaan materi yang diajarkan dan materi yang harus dikuasainya nampak kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimengerti, karena paradigma (cara pandang) yang digunakan untuk menentukan guru sebagai figure sntral, idola, bahkan mempunyai kekuatan spiritual, dimana sang murid sangat bergantung kepadanya.
Dengan posisi seperti ini nampak guru memegang peranan penting dalam pendidikan. Hal ini mungkin kurang sejalan lagi dengan dengan pola dan pendidikan yang diterapkan pada masyarakat modern saat ini. posisi guru dalam pendidikan modern saat ini bukan merupakan satu-satunya agen ilmu pengetahuan dan informasi, karena ilmu ooengetahuan dan informasi sudah dikuasai bukan hanya oleh guru, malainkan oleh peralatan teknologi penyimpan data dan sebagainya. Guru pada masa sekarang lebih dilihat sebagai fasilitator, pemandu, atau narasumber yang mengerahkan jalannya proses belajar mengajar.[29]   
Abunin Nata secara tegas memaparkan idealitas guru yang menjadi harapan bagi al-Ghazali di zaman sekarang. Tipe ideal guru yang dikemukakan al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma akhlak itu, masih dianggap relevan jika tidak dianggap hanya itu satu-satunya model. Melainkan juga harus dilengkapi dengan persyaratan akademis dan profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan keperibadian sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan  dilengkapi dengan persyaratan akademis serta professional.[30]       

4.      Murid
Dalam persoalan murid ini, Abudin Nata juga mengutipkan dalam kitab At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha karya Muhammad Athiyyah al-Abrasi.  Baginya, Sejalan dengan prinsip bahwa manuntut ilmu pengetahuan itu merupakan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka  bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut :
a.       Memuliakan guru dan sikap rendah hati aau tidak takabbur. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan tinggi, dan bimbingan dari guru.
b.      Merasa satu bangunan dengan murid yang lainnya, sehingga merupakan satu bangunan dengan murid yang lainnya yang saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang.
c.       Menjauhkan diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan pikiran.
d.      Tidak hanya mempelajari satu jenis ilmu yang bermanfaat saja, melainkan berbagai ilmu dan berupaya bersungguh-sungguh sehingga mencapai tujuan dari tiap ilmu tersebut.[31]  
Ciri-ciri murid yang demikian masih nampak juga adanya perspektif tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri tersebut utnuk masa sekarang tentu masih perlu ditambahkan dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreativitas dan kegairahan dalam belajar. 

5.      Kurikulum
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan, ia membagi ilmu pengetahuan ke dalam tiga bagian, yaitu ; ilmu yang terlarang/tercela dan ilmu yang terpuji serta ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam. [32]
a.       Ilmu yang tercela, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, azimat, nujum, dan ilmu perdukunan atau tentang ramalan nasib. Bila dipelajari akan membawa mudharat dan meragukan kebenaran adanya Tuhan.
b.      Ilmu yang terpuji, yaitu ilmu tauhid dan ilmu agama atau ibadah. Baik sedikit ataupun banyak, lebih terpuji jika banyak, ilmu ini terpuji secara mutlak karena akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dan mendekatkan diri kepada Allah.
c.       Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, tetapi jika mendalaminya tercela, karena ilmu ini dapat membawa kepada keguncangan iman dan ilhad (meniadakan tuhan) seperti ilmu filsafat, terutama pada filsafat Naturalisme[33]. Menurut al-Ghazali, ilmu-ilmu tersebut jika diperdalam akan menimbulkan kekacauan pikiran dan keraguan, dan ahirnya cenderung mendorong manusia kepada kufur dan ingkar.[34] 
Dari segi kepantingannya, al-Ghazali membagi lagi ilmu menjadi dua kelompok, yaitu :
a.       Ilmu yang wajib (fardhu ‘ain), yang wajib di pelajari oleh setiap individu, yakni ilmu agama, ilmu yang bersumber dari kitab Allah.  
b.      Ilmu yang fardhu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang mempelajarinya. Jika sampai tidak tidak seorang pun diantara kaum muslimin dalam kelompoknya mempelajari ilmu yang dimaksud, maka mereka akan berdosa. Diantara ilmu yang tergolong  fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, pertenunan, politik, pengobatan tradisional, dan jahit menjahit.[35] 

6.      Metode dan media
Mengenai metode dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajran. Metode pengajaran tidak boleh monoton demikian media atau alat pengajaran. 
Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat pendapat al-Ghazali tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, penddidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media/alat yang digunakan dalam pengajaran, beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman (reward and punisment), disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.[36]
Adapun pengklasifikasiannya, Al-Ghazali membagi metode pendidikan ke dalam dua bagian:
Petama, metode khusus pendidikan Agama, metode khusus pendidikan agama ini memiliki orientasi kepada pengetahuan aqidah karena pendidikan agama pada realitasnya lebih sukar dibandingkan pendidkan umum lainnya, karena pendidikan agama menyangkut problematika intuitif dan lebih menitikberatkan kepada pembentukan personality peserta didik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Zakiyyah Derajat bahwa : pembinaan agama dalam arti pembinaan keperibadian sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan.[37]
Kedua, metode khusus pendidikan Akhlaq, al-Ghazali mengungkapkan : “sebagaimana dokter, jikalau memmberikan pasiennya dengan satu macamm obat saja, niscaya akan membunuh kebanyakan orang sakit, begitupun guru, jikalau menunjukan jalankepada muridnya dengan xati macam jalan saja dari latihan,  niscaya membinasakan hati mereka. Akan tetapi seyogyanyalah memperhatikantentang penyakit murid, tentang keadaan murid, sifat tubuhnya, dan latihan apa yang disanggupinya. Berdasarkan yang demikian itu, dibina dilatih”[38]
Dari keterangan di atas, al-Ghazali menerangkan bahwa untuk membuat diagnosis dan melakukan perbaikan (modification) akhlak tercela anak adalah dengan menyuruhnya dengan melakukan perbuatan sebaliknya. Layaknya bila badan sakit, obatnya ialah dengna cara menurunkan panas atau obatnya ialah dengan membuang penyakit itu.
 
7.      Proses pembelajaran
Mengenai proses pembelajaran, al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh upaya tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang hidup penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberikan materi pengajaran yang justru merusak aqidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaranyang dapat mengarahkan kepada akhlak mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada tahap pertama adalah ilmu agama dan syari’at, terutama al-Qur’an.[39]

D.    Penutup
  Sebagaimana pembahasan sebelumnya,  Sistem pendidikan al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga ia dijuluki filosof yang ahli tasawuf (Failusuf al-Mutasawwifin). Sehingga bisa ditarik sebuar deskripsi bahwa dua corak ilmu yang telah berpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam system pendidikannya.
Saripati filsafat penndidikan Ghazali adalah bahwa Islam merupakan suatu realitas yang harus menjadi acuan bagi kesesuaian realitas hidup ; realitas (Islam) adalah suatu standard an criteria yang menjadi tujuan akhir bagi bangkitnya diri seseorang. Standar kriteria tersebut tidak akan menampung manusia. Filsafat pendidikannya bukan hanya suatu persiapan di dalam hidup (sekarang),tetapi juga untuk hidu di akhirat, bukan hanya satu peran serta dalam hidup ini, tetapi juga untuk menjadi suatu upayamencari kehidupan yang abadi dengan segala keagungan yang menyertainya.
Seorang yang yang dididik dalam aturan-aturan Ghazali adalah orang yang tidak hanya melakukan kesatuan nikmat pendangan dan emosi dengan kumpulan masyarakat kaum mukminin, tetapi juga mencapai keunikan pandangan dan kehebatan merasakan sebagai suatu hasil dari perkembangan yang harmonis dalam kepribadiaannya. Dia (Ghazali) adalah seorang yang jujur, berpikir disiplin, jiwanya bersih shaleh, dan bercahaya. Dia diilhami oleh Tuhan, “mabuk” karena Tuhan, dan bekerja bersama dengan Tuhan. Dengan demikian kehadirannya menjadi berkah bagi semuanya (terutama umat Islam).
Sebagai apresiasi integritas terhadap aturan-aturan yang telah diungkapkan oleh al-Ghazali di atas, pada kesempatan akhir makalah ini ada baiknya jika kita menukil simpulan dari kutiban Abudin Nata terhadap Muhammad Munir Mursi, sebuah usulan al-Ghazali terhadap beberapa ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah, antara lain :
1.      Ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqh, hadis dan tafsir.
2.      sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj secara lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu Ilmu agama.
3.      ilmu-ilmu fardhu kifayah , yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
4.      ilmu kebudayaan, sepperti syair, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.[40]

Jika diamati secara seksama, nampak al-Ghzali menggunakan dua pendekatan dalam membagi ilmu pengetahuan. Pertama, pendekatan fiqh yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajib dan fardhu kifayah. Kedua, pendekatan tasawuf (akhlak) yang melahirkan pembagian ilmu pada yang terpuji dan tercela. Hal ini akan semakin jelas jika dihubungkan dengan tujuan pendidiikan tersebut di atas. Yaitu pendekatan diri pada Allah. 
Dari keseluruhan pendekata uraian tersebut dapat di simpulkan, bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang menaruh perhatian cukup tinggi terhadap pendidikan. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak selain sistematis, komperhensif juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribasian sebagai seorang sufi.
Konsep pendidika al-Ghazali tersebut merupakan aplikasi dan responsasi dari  jawabannya terhadap permasalahan social kemasyarakatan yang dihadapinya saat itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak sebagian masih ada yang sesuai dan sebagian yang lainnya ada yang perlu disempurnakan. Itulah watak hasil pemikiran manusia yang selalu menuntut penyempurnaan.
Demikianlah sajian makalah kami ini, semoga menjadi kesegaran tersendiri di pagi hari dengan ditemani kehadiran al-Ghazali hujah al-Islam di tengah-tengah forum tafakkur  wa tadabbur kita. Kurang sempurnanya makalah ini adalah batu loncatan –untuk tidak mengatakan tanggung jawab– kita semua. Wallahu A’lam

***

  

PENDAMPING MAKALAH

Al-Ghazali, 2003, Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), Achhmad Maimun (penj.), Yogyakarta:  Islamika
Abud, Abd. Ghani, 1982,  Al-Fikr al-Tarbawi ‘inda al-Ghazali, Beirut : Dar al-Fikr
Al-Syaibany , Omar Muhammad Al-Toumy, 1979, Falsafah Penndiidikan Islam, Hasan Langgulung (penj.), Jakarta : Bulan Bintang
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, tt., Al-Tarbiyah fi Islam, Mesir : Dar al-Misriyyah.
Anwar, Saeful, 2007, Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Dimensi Ontologi, dan Aksiologi), Bandung : Pustaka Setia.
Arifin, H.M., 1991, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Khan , Syafique Ali, 2005, FilsafatPendidikan Al-Ghazali :Gagasan, Konsep, Teori, dan Filsafat Ghazali Mengenai Pendidikan, Pengetahuan dan Belajar, Bandung : CV Pustaka Setia
Nasution, Harun, 1978, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Nata, Abudin, 2005, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta : Gaya Media Pratama
Ramayulis & Samsul Nizar, 2009, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, Jakarta : Kalam Mulia
Sibawaih, 2008, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur rahman, Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer, Yogyakarta : Islamika
Sulaiman, Fathiyah Hasan, 1986, System Pendidikan Versi al-Ghazali, Bandung : PT. al-Ma’arif.
Said, Jalaludin Usman, 1994, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Shaleh, A. Khhairuddin, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Syar’i, Ahmad, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus.




[1] Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Filsafat), Achhmad Maimun (penj.), (Yogyakarta:  Islamika, 2003), hlm. xxx 
[2] Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Penndiidikan Islam, Hasan Langgulung (penj.), (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 33
[3] Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), hlm. 4
[4] Syafique Ali Khan, FilsafatPendidikan Al-Ghazali :Gagasan, Konsep, Teori, dan Filsafat Ghazali Mengenai Pendidikan, Pengetahuan dan Belajar, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2005), hlm. 9
[5] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali (Dimensi Ontologi, dan Aksiologi), (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 50
[6] Istilah ini (Ghazzal) juga salah satu penyebab ia dijuluki al-Ghazzali. Lihat. A. Khhairuddin Shaleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 80
[7] Ibid. hlm. 50-51
[8] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 209
[9] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005) hlm. 96
[10] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978) hlm. 43
[11]Sibawaih, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur rahman, Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer, (Yogyakarta : Islamika, 2008), hlm. 37
[12] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, ... hlm. 98
[13] Ibid, hlm. 38
[14] Tentang tempat-tempat yang dikunjungi al-Ghazali, tidak ada kepastiian, kecuali dua tahun pertama di Syria. Lihat M. Saeed, Syeikh, Al-Ghazali :Methaphysics, A History of Muslim Philosophy. 586.   
[15] Sibawaih, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur rahman, ... , hlm. 46
[16] Abd. Ghani Abud, Al-Fikr al-Tarbawi ‘inda al-Ghazali, (Beirut : Dar al-Fikr, 1982), hlm. 47
[17] Fathiyah Hasan sulaiman, System Pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung : PT. al-Ma’arif, 1986),hlm. 24
[18] Ahmad Fuad  al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi Islam, (Mesir : Dar al-Misriyyah, tt.), hlm. 234
[19] Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini adalah Plato (427-347 SM), aliran ini menekankan moral dan realitas spiritual sebagai sumber-suber utama di alam ini. dalam pendidikan Islam, Paham Idealisme mengutamakan atau bertitik tolak pada kkemutlakan roh dan mengabaikan hal-hal yang bersifat materi (Fisik), sehingga dapat tercapai kehidupan yang seimbang, baik keseimbanagn antara roh dan jasad, keseimbanagn antara materil dan spiritual, keseimbangan anatar individu dan masyarakat, serta keseimbangan dunia dan ukhrawi.  Lihat di Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), hlm. 17
[20] Empirisme : teori yang berdasarkan pada pengalaman (terutama yg diperoleh dr penemuan, percobaan, pengamatan yg telah dilakukan)
[21] Ahmad Syar’i, Filsafat pendiddikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 98
[22] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 212
[23] Ibid.
[24] Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), hlm. 273
[25] Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.
[26] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005) hlm. 98-99
[27] Ibid, hlm. 99
[28] H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm 103-104
[29] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ...., hlm. 215
[30] Ibid.
[31] Ibid. hlm. 215-216
[32] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, .... hlm. 100;  Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, …. hlm. 273 ; Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ...., hlm. 216
[33] Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam.
[34] Jalaludin Usman said, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994),hlm. 142-143
[35] Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah system Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,….  hlm. 275
[36] Ibid. hlm, 278-279
[37] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005) hlm. 101
[38] Ibid.
[39] Fathiyah Hasan Sulaiman, system pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung : PT. al-Ma’arif, 1986),hlm. 24
[40] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 217